Belajar dari yang Remeh

Pagi ini saya mendapat broadcast di salah satu group whatsapp yang saya bergabung di dalamnya, sebuah berita tentang facebook yang akan meluncurkan fitur marketplace di dalam platformnya pekan ini, masih terbatas di beberapa negara saja memang. Hal ini tentunya menjadi berita yang cukup serius terutama bagi penggiat e-commerce tanah air. Indonesia belum menjadi target negara yang bisa menikmati fitur tersebut saat ini, namun cepat atau lambat pengguna facebook di Indonesia akan dapat merasakan manfaatnya juga.

Facebook saat ini sudah menjelma menjadi perusahaan teknologi raksasa yang kehadirannya bisa memberikan perubahan signifikan kepada banyak orang. Tidak berlebihan jika banyak pelaku e-commerce yang khawatir dengan masuknya facebook ke area ini. Dengan modal 1,7 milyar pengguna aktif bulanan saat ini, Facebook punya posisi dominan dalam platform social media yang sangat menguntungkan ketika mereka ingin masuk ke sektor-sektor kehidupan lain, termasuk e-commerce.

Namun buat saya bukan tentang marketplace-nya yang menarik dari informasi mainan baru Facebook ini, tapi tentang sepenggal informasi dibalik inspirasi mengapa marketplace yang akan dibuat oleh Facebook adalah Marketplace berbasis lokasi. Facebook membuat marketplace berbasis lokasi tidak lain ingin agar penggunanya dapat melakukan transaksi dengan pengguna Facebook lain di dekatnya atau di sekitar lokasi tertentu. Hal ini sejujurnya bukanlah pendekatan atau barang baru, Badr Interactive di tahun 2013 bersama dengan Pak Muhaimin Iqbal pernah membuat marketplace berbasis lokasi juga bernama Lastfeet yang memang saat ini dengan segala macam penyebabnya masih belum bisa bertumbuh dengan baik.

Penggalan informasi yang menarik tersebut lebih lanjut menceritakan salah satu alasan yang menginspirasi Facebook membuat marketplace berbasis lokasi, yaitu mereka aware dengan fenomena banyaknya orang yang menggunakan marketplace hanya untuk melihat-lihat barang-barang yang ada di sebuah platform belanja online, baik barang yang dibutuhkan ataupun yang tidak dibutuhkan. Mirip dengan kebiasaan window shopping kita di mall yang suka sekali melihat-lihat barang yang ada di toko biarpun tidak butuh atau tidak akan membeli.

Lalu apa menariknya informasi seperti itu sehingga bisa menjadi inspirasi Facebook membuat marketplace berbasiskan lokasi? Hal itu terletak pada bagaimana mereka mampu mengaitkan fakta tersebut dengan keinginan Facebook untuk mengoneksikan sebanyak-banyak orang di dunia, yang kemudian memunculkan ide marketplace yang sangat fokus pada experience dan kenyamanan pengguna dalam browsing dan window shopping. Facebook yang sudah punya data milyaran pengguna beserta dengan interest dan kebiasaan penggunanya tentunya sangat bisa menyajikan experience browsing dan window shopping yang presisi. Ini adalah sebuah cara elegan untuk membuat pengguna Facebook semakin terikat dengan platformnya, semakin tinggi interaksinya, semakin tinggi juga pendapatan dari iklan yang didapat Facebook. Mempertemukan fakta kebiasaan window shopping masyarakat dengan kompetensi Facebook, melahirkan Marketplace berbasis lokasi, brilian bukan?

Fakta dan inspirasi seperti ini memang kelihatan kecil dan remeh. Kita mungkin tidak menangkapnya karena tersembunyi di antara banyak sekali informasi dan hal-hal besar yang kita lakukan di kehidupan sehari-hari. Tapi informasi dan insirasi kecil ini bisa membawa angin perubahan dan pembaruan yang signifikan. Saya sering kali sengaja memperhatikan apa pemicu-pemicu dari sebuah tipping point atau lonjakan sebuah bisnis atau gerakan. Banyak yang memang berawal dari sebuah pemicu kecil dan sering kali diremehkan, namun bisa menjadi besar karena mereka bisa bertemu dengan momentum yang tepat di tangan orang yang memang memperlakukan mereka dengan berharga.

Tiny Things
Tiny Things

Pekan lalu saat berkunjung ke San Fransiscto di event bernama G-Startup, saya bertemu dengan sebuah startup dengan ide yang sangat menarik, Scoutible. Mereka membuat sebuah game yang bisa mengukur kualitas soft skill seorang kandidat pelamar pekerjaan. Dan ternyata ia datang dari inspirasi bermain game dengan segala macam matriks pengukuran atau gamification di dalamnya, kemudian dipadukan dengan teori psikologi untuk membuat ukuran softskill tersebut bisa diimplementasikan ke dalam game. Berapa banyak dari kita yang sangat sering main game, tapi mungkin sangat jarang yang benar-benar memperhatikan matriks pengukuran apa saja yang ada di dalam game yang kita mainkan, dan mungkin Scoutible adalah satu dari super sedikit yang mampu mengambil inspirasi dari hal tersebut.

Saya banyak belajar bahwa rasa excited atau bersemangat bahkan untuk sebuah hal yang kelihatan remeh dan tidak penting itu bisa jadi keunggulan tersendiri. Banyak di antara kita karena sudah sangat sibuknya di tengah hari-hari kita, hanya mau dan ingin memperhatikan sesuatu yang besar dan berharga. Lebih excited berbicara dengan orang yang status sosialnya tinggi alih-alih orang biasa atau yang secara status sosial ada di bawah kita. Lebih suka mendatangi acara atau kesempatan yang memberikan insentif materi lebih dibandingkan dengan yang tidak memberikan timbal balik. Padahal siapa yang tau pemicu dan inspirasi kecil yang bisa menjadi tuas pengungkit diri kita berasal dari hal yang kita sepelekan. Inspirasi dan hikmah bisa datang dari siapapun, dimanapun, dan kapanpun.

Dalam kehidupan memang resource kita terbatas dan perlu dikelola, namun janganlah semua kaca mata yang digunakan untuk menilai pengelolaan itu didasarkan pada ukuran materi yang secara kasat mata terlihat besar saja. Selayaknya Allah yang mengukur derajat hamba-Nya bukan dari status sosial, fisik, atau hartanya, tapi dari sesuatu yang tidak dapat terlihat dan diukur dengan alat ukur biasa, yaitu ketakwaan manusia. Bukan berarti ketakwaan adalah hal yang remeh, ketakwaan adalah hal yang sangat penting, namun luput diperhatikan oleh banyak orang karena tidak terlihat dan dipentingkan oleh banyak orang.

Jadi mari menjadikan diri kita seperti anak kecil yang selalu excited dengan hal-hal kecil, lalu ditambah juga dengan keunggulan seorang dewasa yang mampu menganalisis sesuatu dan mengelola resource dengan bijak. Kita akan selalu dapat melihat banyak hal baru dalam dunia yang kita pijaki, bahkan ketika kita terkungkung dalam penjara sempit berdebu sekalipun.

Leave a Reply