Bukan Soal Kapan Memulai

“Aduh, kok gw nggak ngerti sih,” gumam Aslan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya bergerak cepat mencatat istilah-istilah baru yang bertebaran di diskusi kelompoknya.

“Ustadz, kalau nun mati bertemu dengan ya seperti pada من يعمل, apakah termasuk idgham bighunnah atau bila ghunnah?” tanya Haikal dengan lancar.

“Ustadz, bagaimana cara membedakan antara mad wajib muttasil dan mad jaiz munfasil dalam praktiknya?” sambung Zahra.

Aslan semakin tenggelam dalam kebingungan. Ia bahkan belum bisa membedakan makhraj huruf dengan benar, sementara teman-temannya sudah membahas hal-hal yang terdengar seperti bahasa alien di telinganya.

Hari ini adalah pertemuan pertama kelas tahsin di masjid kampus. Aslan, mahasiswa semester satu Teknik Informatika kampus negeri ternama di Jogja, merasa seperti orang asing di antara teman-temannya yang tampak lancar mengikuti arahan Ustadz Alif.

“Idgham bila ghunnah… mad wajib…” Aslan mencatat istilah-istilah asing itu di bukunya. Sementara yang lain mengangguk paham, ia justru semakin bingung.

Ketika giliran Aslan membaca, suaranya bergetar. “A’udzu billahi minasai… tonirojim.”

“Stop dulu, Aslan,” Ustadz Alif mengoreksi dengan lembut. “Coba perhatikan makhroj huruf ‘syin’-nya. Ini bukan ‘sai’, tapi ‘syi’ dan huruf ‘ro’-nya juga kurang tepat. Lidahnya harus menyentuh langit-langit atas.”

Aslan mengangguk, tapi dalam hati ia frustrasi. Semua teman sekelompoknya tampak sudah mahir. Ada Fatih yang pernah mondok di Gontor, Haikal lulusan pesantren di Jombang, dan Zahra yang sejak kecil ikut program tahfidz.

“Baik, Ustadz. Saya ulangi lagi,” ujarnya pelan.


“Woi, jangan cemberut mulu. Ntar cakepnya ilang lho,” goda Rayyan sambil meletakkan nampan berisi dua piring nasi padang di meja kantin.

Aslan tersenyum kecut. “Gausah ngeledek. Lagi bete nih.”

“Kenapa lagi? Cerita dong,” Rayyan mencomot sepotong rendang. Anak keturunan Minang yang merantau ke Jogja ini memang punya selera makan yang luar biasa.

“Tadi ikut kelas tahsin pertama. Parah banget, Ray. Gw kayak alien di sana. Semua udah jago, pada lancar baca Al-Qur’an. Lah Gw? Juz 30 aja masih belepotan.”

Rayyan mengangguk-angguk. “Terus?”

“Ya gitu. Rasanya pengen nyerah aja. Malu, Ray. Mereka pada belajar dari kecil, sekolah di pesantren atau madrasah. Lo kan tau sendiri dulu di sekolah gw ga ada pelajaran agama atau baca quran.”

“Nggak usah bandingin diri lo sama orang lain.” Rayyan meneguk es tehnya.

“Tapi nggak fair, Ray. Mereka udah jauh di depan. Gw baru mulai. Klo lo kan enak Ray, bacaan bagus, hafalan banyak. Lo ga akan kesusahan ngikutin. Kalo gw udah kayak mustahil buat ngejar.”

“Siapa bilang mustahil?” Suara Ustadz Alif mengejutkan keduanya. Guru tahsin itu tersenyum sambil menarik kursi di sebelah mereka. “Boleh gabung?”

Aslan langsung salah tingkah. “E-eh, Ustadz. Silakan.”

“Jadi, kamu merasa tertinggal ya?” tanya Ustadz Alif setelah memesan secangkir kopi.

Aslan mengangguk pelan. “Iya, Ustadz. Kayaknya saya udah telat banget mulainya.”

“Kamu tahu Abu Hurairah?”

Aslan menggeleng. Rayyan tersenyum kecil.

“Abu Hurairah itu sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits terbanyak dibandingnya sahabat yang lainnya. Sekitar 5.700 hadits,” jelas Ustadz Alif. “Jauh lebih banyak dari Aisyah, Ibnu Abbas, atau Ibnu Umar.”

“Wah, berarti beliau udah lama banget ya bersama Rasulullah?” tanya Aslan.

Ustadz Alif tersenyum. “Itulah yang menarik. Abu Hurairah baru bertemu Rasulullah di tahun ke-7 Hijriah dan hanya bersama beliau selama kurang lebih 3,5 tahun.”

Aslan tertegun. “Hah? Kok bisa?”

“Sementara sahabat lain sudah jauh lebih lama memeluk Islam dan bersama Rasulullah. Tapi dedikasi, totalitas, dan perjuangan Abu Hurairah yang membuat ia bisa mengejar ketertinggalan itu.”

“Gimana caranya, Ustadz?” tanya Aslan penasaran.

“Abu Hurairah itu termasuk Ahlus Suffah, yaitu sekelompok sahabat yang tidak punya tempat tinggal dan tinggal di beranda masjid Nabawi,” jelas Ustadz Alif. “Mereka fokus belajar Islam dan selalu dekat dengan Rasulullah.”

“Jadi kayak santri yang nginep di masjid gitu ya, Tadz?” Rayyan menimpali.

“Kurang lebih begitu. Abu Hurairah selama bersama Rasulullah tidak dulu menikah, tidak berniaga, ia mendedikasikan seluruh waktunya untuk bersama dan belajar dari Rasulullah. Itulah yang membuatnya bisa menyerap banyak ilmu dalam waktu singkat.”

Aslan terdiam, mencerna kata-kata gurunya.

“Dan kamu tahu, Aslan? Abu Hurairah juga pernah mengeluh pada Rasulullah bahwa dia sering lupa apa yang diajarkan. Tahu apa yang dilakukan Rasulullah?”

Aslan menggeleng.

“Rasulullah menyuruhnya membentangkan surbannya, lalu beliau berdoa khusus untuknya agar diberi kemampuan menghafal yang kuat. Setelah itu, Abu Hurairah tidak pernah lupa lagi apa yang dia dengar dari Rasulullah.”

“Subhanallah…” gumam Aslan.

“Jadi, ini bukan soal seberapa terlambat kamu memulai, tapi seberapa besar kesungguhan kamu untuk berusaha. Dari sana, Allah akan memberikan kemudahan dan petunjuk untuk bisa berproses.”

Rayyan menepuk pundak sahabatnya. “Tuh kan, persis kayak yang gw bilang.”

“Eh, perasaan lo nggak bilang apa-apa deh selain nyuruh makan rendang,” celetuk Aslan sambil tertawa.

Mereka bertiga tertawa bersama.

“Ustadz, saya boleh minta waktu tambahan nggak untuk belajar? Kayaknya saya butuh lebih banyak latihan,” tanya Aslan dengan semangat baru.

“Tentu saja. Kamu bisa datang ke rumah saya setiap ba’da Maghrib. Ada beberapa mahasiswa lain juga yang belajar di sana,” jawab Ustadz Alif.

“Alhamdulillah, makasih banyak, Ustadz!”


Dua bulan kemudian, di kelas tahsin yang sama.

“Ghoiril maghdlubi’alaihim waladlooliin,” Aslan membaca dengan tajwid yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

“Alhamdulillah, ada kemajuan pesat nih,” puji Ustadz Alif. “Apa rahasianya?”

Aslan tersenyum. “Saya cuma inget kisah Abu Hurairah, Ustadz. Kalau beliau bisa melakukan itu dalam 3,5 tahun, masa saya nggak bisa?”

Ustadz Alif mengangguk puas. “Jangan pernah remehkan kekuatan niat dan usaha yang sungguh-sungguh. Allah selalu memberi jalan bagi mereka yang bersungguh-sungguh.”

Aslan mengangguk mantap. Ia paham sekarang, menjadi lebih baik bukan tentang seberapa cepat, tapi tentang seberapa konsisten dan sungguh-sungguh dalam menjalani prosesnya.

Leave a Comment