Rico menatap layar laptopnya dengan mata melebar. Ia mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa yang dibacanya bukan ilusi.
“Dik! Sini cepetan!” teriaknya pada Dika yang sedang membuat kopi di dapur kantor mereka yang sempit.
Dika berlari kecil, cemas mendengar nada mendesak dari suara Rico. “Kenapa, Co? Ada masalah lagi?”
“Liat email ini,” Rico menunjuk layar dengan jari bergetar.
Dika mendekat, matanya menyipit membaca subjek email tersebut. Seketika mulutnya menganga.
“Selamat! TechVenture Pemenang Best Free Apps Awards Telecom Challenges”
“Ini serius?” Dika nyaris berbisik, takut jika bersuara terlalu keras, email itu akan menghilang.
Rico mengklik email tersebut. Pesan dari brand ponsel ternama itu dengan jelas menyatakan bahwa aplikasi Al-Quran digital karya TechVenture mereka terpilih sebagai salah satu pemenang dalam kompetisi aplikasi yang diselenggarakan tiga bulan lalu.
“Ya Allah,” Dika menjatuhkan diri ke kursi terdekat. “Gue bahkan udah lupa soal lomba ini. Gue cuma iseng upload waktu itu.”
“Kapan lu daftar?” tanya Rico, masih takjub.
“Tiga bulan lalu. Gue pikir kita nggak akan menang, makanya gue nggak bilang apa-apa ke lo.” Dika menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. “Coba lihat tanggalnya, Co. Ini datang persis di saat kita butuh.”
Rico mengangguk pelan. Seminggu yang lalu, mereka berdua duduk di ruangan yang sama, menghadapi layar laptop berisi spreadsheet keuangan dengan wajah pucat. Kas perusahaan mereka kurang 25 juta untuk menggaji karyawan. Tagihan yang sudah mereka kirim ke klien belum juga dibayar.
“Kemarin gue masih mikir gimana cara ngomong ke tim kalau gaji mereka bakalan telat,” ujar Rico lirih.
Dika menepuk bahu sahabatnya itu. “Skenario Allah memang luar biasa, Co. Kita cuma fokus sama masalah di depan mata, tapi Allah punya rencana yang jauh lebih luas dari jangkauan pikiran kita.”
Rico mengangguk. Rasa syukur membanjiri hatinya. “Kayak yang gue baca di buku sejarah Islam kemarin,” tambahnya. “Tentang perjalanan dakwah Nabi Muhammad.”
“Yang mana?”
“Lima tahun terakhir sebelum hijrah itu kan masa terberat dakwah beliau di Mekkah. Pengikutnya dipersekusi, difitnah, diusir, diboikot. Bahkan beliau kehilangan paman dan istrinya dalam waktu berdekatan. Semua orang mikir dakwah Islam udah mentok.”
Dika mendengarkan dengan seksama.
“Tapi siapa sangka,” lanjut Rico, “di tempat lain, di kota Yastrib, lagi terjadi Perang Bu’ats. Perang saudara besar antara suku Aus dan Khazraj yang udah berlangsung bertahun-tahun. Perang ini bikin banyak pemimpin senior di kedua suku itu gugur.”
“Dan apa hubungannya dengan dakwah Nabi?” tanya Dika penasaran.
“Karena para pemimpin senior gugur, posisi kepemimpinan diisi generasi muda yang lebih terbuka sama ajaran baru. Makanya pas pemuda-pemuda Yastrib ketemu Nabi Muhammad di musim haji, mereka malah tertarik dan menyambut ajaran Islam. Dari situ terjadi Baiat Aqabah pertama, lalu yang kedua, sampai akhirnya Rasulullah hijrah ke Yastrib yang kemudian dinamai Madinah.”
Dika terdiam sejenak. “Jadi Perang Bu’ats yang nggak ada sangkut pautnya dengan Nabi, justru jadi sebab dakwah beliau bisa berkembang di Yastrib.”
“Betul. Skenario Allah jauh lebih luas dari yang kita bayangkan. Kita nggak tahu kenapa kita bikin aplikasi Al-Quran itu. Kita nggak tahu kenapa lu iseng ikut lomba. Tapi Allah tahu kita bakal butuh dana ini persis di minggu ini.”
Dika tersenyum. Matanya menatap ke langit-langit kantor mereka yang sederhana. “Alhamdulillah.”
Rico membuka kembali spreadsheet keuangan mereka dan mulai menghitung ulang. “Dengan 35 juta ini, kita bisa bayar semua gaji tepat waktu, dan bahkan ada sisa untuk operasional bulan depan.”
“Tapi ini pengingat buat kita, Co,” ujar Dika serius. “Bisnis kita ini bukan cuma soal profit. Allah kasih kita rezeki ini karena aplikasi Al-Quran, bukan karena proyek komersial lainnya.”
Rico mengangguk mantap. “Iya, kita harus terus komitmen menjalankan bisnis dengan prinsip yang benar. Bukan cuma cari untung, tapi juga bermanfaat buat orang lain.”
“Setuju,” sahut Dika. “Dan kita perlu lebih sering berdoa dan bersyukur. Kadang sebagai founder startup, gue terlalu fokus sama metrik bisnis dan deadline project, sampai lupa bahwa Allah selalu punya rencana terbaik.”
Rico menatap email pemberitahuan hadiah itu sekali lagi. Di di dunia bisnis, ia belajar bahwa banyak faktor-faktor yang tidak bisa ia kontrol—dan itu mengajarkannya tentang tawakal.
Mereka berdua tertawa, beban berat yang menghimpit dada mereka selama seminggu terakhir akhirnya terangkat. Hadiah lomba itu bukan hanya solusi finansial, tapi juga pengingat bahwa dalam setiap kesulitan, pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tak pernah mereka duga.
“Mari kita kasih kabar baik ini ke tim,” ajak Rico sambil beranjak dari kursinya.
Dika mengangguk. “Dan besok, gue mau traktir mereka semua makan siang.”
Senja mulai turun di luar jendela kantor TechVenture. Matahari yang sama yang tadi pagi menyaksikan kecemasan dua founder muda itu, kini menyaksikan mereka berjalan dengan langkah ringan, dipenuhi harapan baru dan keyakinan bahwa selama niat mereka baik, jalan akan selalu terbuka.