Marketing Fee

Rico menghela napas panjang. Layar laptopnya bergerak atas bawah scroll proposal proyek aplikasi manajemen arsip untuk instansi pemerintah yang mereka ajukan bulan lalu. Nilai kontraknya besar, cukup untuk menyelamatkan TechVenture dari situasi keuangan yang mulai genting.

“Balik lagi ke pertanyaan awal,” kata Rico sambil memutar kursinya menghadap Dika dan Salim, dua sahabat yang menjadi co-founder perusahaan IT consulting yang mereka dirikan dua tahun lalu. “Kita ambil atau nggak?”

Dika, yang baru saja memeriksa laporan keuangan, menggelengkan kepala. “Kondisi kas kita parah. Cuma cukup bayar setengah gaji karyawan akhir bulan ini.”

“Belum lagi pembayaran dari klien Surabaya yang masih molor,” tambah Salim. “Dan pipeline proyek baru? Kosong.”

Rico mengetuk-ngetuk meja, kebiasaannya saat berpikir keras.

“Pak Tjokro bilang apa lagi tadi?” tanya Dika.

“Marketing fee. Lima belas persen.” Rico mendengus. “Halus banget ya bahasanya. Padahal maksudnya kickback.”

Ruangan meeting mereka yang sederhana itu mendadak sunyi. Di masing-masing meja di kantor itu ditempelkan tulisan : “Niatkan kerja untuk ibadah kepada Allah.”

Salim menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Bapak gue dulu punya perusahaan konstruksi. Bangkrut gara-gara nolak main beginian.”

“Terus lo nyaranin kita terima?” tanya Rico, nada suaranya sedikit meninggi.

“Bukan gitu,” Salim menggaruk kepalanya.

“Lo inget nggak kisah Abdurrahman bin Auf waktu hijrah?” Dika menyela. “Kalo kita tinggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan ganti dengan yang lebih baik.”

Rico mengangguk. “Gue inget banget kisah Abdurrahman bin Auf. Dia hijrah ke Madinah dengan meninggalkan semua hartanya, padahal dulu di Mekkah dia termasuk orang paling kaya.”

“Iya,” Dika menimpali. “Dia dipersaudarakan sama Sa’d bin Ar-Rabi’, orang Anshar yang kaya. Sa’d nawarin setengah hartanya buat Abdurrahman nin Auf.”

“Tapi Abdurrahman nolak, kan?” Rico meneruskan. “Dia cuma minta ditunjukkan jalan ke pasar.”

Salim tersenyum tipis. “Dan dia memilih mulai dari nol di pasar Madinah. Berkat kecerdasan dan kerja kerasnya—plus pertolongan Allah—nggak lama dia udah kaya lagi. Bahkan bisa nikah dengan mahar emas seberat biji kurma hasil jerih payahnya sendiri.”

“Exactly!” Dika menepuk meja dengan bersemangat. “Itu bukti nyata. Allah nggak pernah ingkar janji.”

Salim tersenyum kecut. “Ya, gue inget. Tapi jaman sekarang beda sama jaman dulu. Persaingan makin keras.”

Rico bangkit dari kursinya ke jendela. Suara azan Zuhur berkumandang, memecah keheningan.

“Break dulu. Kita shalat.” Rico berbalik menghadap teman-temannya. “Mungkin kita perlu minta petunjuk ke Allah.”


Di shaf paling belakang masjid, Rico memejamkan mata setelah salam. Bibirnya bergerak-gerak, berdoa meminta petunjuk. Tidak ada jawaban yang muncul, tidak ada pencerahan mendadak seperti di film-film. Hanya keheningan.

Ketika mereka bertiga kembali ke ruang rapat, Rico langsung mengambil keputusan.

“Kita tolak.” Suaranya mantap. “Dari awal kita bangun TechVenture dengan prinsip Islam. Masa di ujian kayak gini kita udah goyah?”

Dika mengangguk setuju. “Kalo kita ambil, apa bedanya kita sama yang lain?”

Salim tidak langsung menjawab. Matanya menerawang, mungkin teringat kisah ayahnya.

“Oke,” akhirnya dia bersuara. “Tapi gimana soal gaji karyawan?”

“Gue sama Dika nggak ambil gaji bulan ini,” kata Rico. “Dan kita coba cari pinjaman jangka pendek dari investor yang dulu pernah nawarin.”

“Gue juga nggak ambil gaji,” tambah Salim. “Kita bertiga founder, tanggung jawab kita.”

Rico membuka ponselnya, mengetik pesan untuk Pak Tjokro: “Mohon maaf, Pak. Setelah pertimbangan internal, kami memutuskan untuk mengundurkan diri dari proyek ini. Terima kasih atas kesempatannya.”

Pesan terkirim. Entah mengapa, Rico merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, meski kecemasan finansial masih menggantung di depan mata.


Tiga minggu berlalu. Situasi keuangan TechVenture semakin sulit. Rico semakin sering begadang, mencari solusi dan peluang proyek baru.

Ponselnya berdering. Nomor Pak Tjokro.

“Selamat pagi, Mas Rico. Bisa bicara sebentar?”

Rico menelan ludah. “Tentu, Pak.”

“Begini, kandidat lain ternyata tidak memenuhi kualifikasi teknis. Kami masih tertarik dengan proposal TechVenture. Kalau masih berminat, bisa kita lanjutkan tanpa… ehem, marketing fee yang saya sebut waktu itu.”

Jantung Rico berdegup kencang. “Serius, Pak?”

“Ya. Kami butuh vendor yang kompeten, dan tim Anda memenuhi kriteria itu.”

Setelah telepon ditutup, Rico langsung menghubungi group chat co-founder. “GUYS! Pak Tjokro nawarin proyek lagi. TANPA kickback!”

Dalam hitungan menit, Dika dan Salim sudah tiba di kantor, wajah mereka tak percaya mendengar berita ini.

Dika merangkul Rico. “Bener kan, Allah gak pernah ingkar janji!”

Salim tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. “Gue cerita ke bokap soal keputusan kita waktu itu. Tau apa katanya?”

Rico dan Dika menoleh.

“Dia bilang, mungkin bisnisnya bangkrut karena nolak main kotor, tapi dia dapat ketenangan hati dan keberkahan hidup. Baginya, itu jauh lebih berharga.”

Rico merangkul kedua sahabatnya. Tahun kedua sebagai pebisnis ternyata terasa lebih berat dari tahun pertama mereka. Tidak ada rumus pasti, tidak ada jawaban di belakang buku atau seminar. Hanya keyakinan dan prinsip yang jadi pegangan.

Leave a Comment