Batu Thaif dan Pensil Dara

Hari itu Dara pulang dengan gontai. Ia berjalan masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam, tidak seperti biasanya. Ransel birunya dilempar begitu saja ke sofa.

“Dara sudah pulang?” suara Abah terdengar dari ruang kerja.

Dara tidak menjawab. Ia langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Abah yang menyadari ada yang tidak beres, segera menghampiri kamar putri kecilnya.

“Dara sayang, boleh Abah masuk?” tanya Abah sambil mengetuk pintu.

“Masuk aja, Abah,” jawab Dara pelan.

Abah membuka pintu dan menemukan Dara duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab.

“Ada apa, Nak? Kenapa murung begitu?” Abah duduk di samping Dara.

“Abah, Dara nggak mau ikut lomba menggambar lagi,” ucapnya lirih.

“Lho, kenapa? Bukannya Dara sangat senang menggambar?”

“Gambar Dara jelek, Bah. Kakak kelas menertawakan gambar Dara di papan gambar-gambar dipajang. Mereka bilang gambarnya aneh dan jelek.”

“Dara dengar sendiri mereka bilang begitu?” tanya Abah lembut.

Dara mengangguk. “Iya. Mereka nggak tahu Dara ada di dekat situ. Sakit hati, Abah. Dara sudah berusaha keras menggambar sebagus mungkin.”

Abah tersenyum dan merangkul bahu mungil putrinya.

“Mau dengar kisah seseorang yang dicemooh jauh lebih parah, tapi tetap sabar?”

Dara mendongak, menatap Abah dengan mata berair. “Siapa, Bah?”

“Rasulullah kita, Muhammad SAW. Abah mau cerita tentang pengalaman beliau di kota Thaif.”

Dara mengusap pipinya dan mulai mendengarkan dengan seksama.

“Dulu, ketika dakwah di Mekkah semakin sulit setelah wafatnya paman dan istri beliau, Rasulullah memutuskan pergi ke Thaif bersama Zaid bin Haritsah. Mereka berjalan kaki jauh sekali.”

“Lebih jauh dari sekolah Dara ke rumah?” tanya Dara.

Abah tersenyum. “Jauh sekali, Nak. Berpuluh kali lipat. Sesampainya di Thaif, Rasulullah menemui tiga pemimpin kota itu. Tapi tahu apa yang terjadi?”

“Apa, Bah?”

“Mereka menolak Rasulullah dengan kasar dan mengejek beliau. Padahal Rasulullah hanya ingin mengajak mereka kepada kebaikan.”

Dara mengernyitkan dahi. “Iih mereka jahat banget ya Abah.”

“Biarpun ditolak Rasulullah tetap tinggal di sana sekitar seminggu untuk berdakwah. Tapi penduduk Thaif tidak mau mendengarkan. Malah para pemimpin kota menyuruh orang-orang untuk mengusir dan melempari Rasulullah dengan batu.”

Mata Dara membulat. “Dilempari batu, Bah? Sakit dong?”

“Tentu saja sakit, Nak. Kaki Rasulullah berdarah, sampai sandalnya basah dengan darah beliau sendiri. Beliau terus berjalan menjauhi kota itu, sampai akhirnya berhenti di sebuah perkebunan untuk istirahat.”

Dara menutup mulutnya dengan tangan. “Kasihan Rasulullah…”

“Di sana, dalam keadaan terluka dan sedih, tahu apa yang Rasulullah lakukan?”

Dara menggeleng.

“Beliau berdoa kepada Allah. Doanya sangat indah,” Abah melanjutkan. “Beliau berdoa:

‘Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku dan ketidakberdayaanku di hadapan manusia. Engkau Yang Maha Pengasih dari semua yang pengasih, Engkaulah Tuhan bagi yang lemah, dan Engkaulah Tuhanku.

Kepada siapa Engkau serahkan aku, ya Allah? Kepada orang asing yang akan memperlakukanku dengan kasar, atau kepada kerabat dekat yang Engkau beri kekuasaan atasku? Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.

Tapi Perlindungan-Mu dari kesulitan, kemudahan dan ketentraman dari-Mu, inilah yang lebih mudah bagiku.'”

Dara mendengarkan dengan seksama. Abah melanjutkan doa itu.

“‘Ya Allah, aku berlindung pada wajah-Mu yang merupakan sumber segala cahaya, yang menghilangkan kegelapan, dan karenanya semua urusan dunia dan akhirat dituntun dengan benar.

Aku berlindung pada wajah-Mu agar kemarahan-Mu tidak turun padaku atau murka-Mu menyelimutiku.

Adalah hak-Mu untuk menguji hingga Engkau rida. Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu dan melalui-Mu.'”

Sejenak hening. Dara merenung.

“Ini doa yang sangat indah buat Abah pribadi. Mencerminkan keteguhan Rasulullah di saat sedih sekalipun selalu mengadu dan memohon perlindungan pada Allah.”

“Rasulullah hebat ya, padahal sudah dicemooh dan dilempari batu…” gumam Dara.

“Iya, Dara sayang. Kalau kita bandingkan, apa yang Dara alami hari ini dengan apa yang dialami Rasulullah, bagaimana menurutmu?”

Dara menunduk. “Dara cuma dicemooh karena gambar jelek. Rasulullah dilempari batu sampai berdarah… Padahal beliau adalah utusan Allah.”

“Benar. Dan yang paling penting, bagaimana sikap Rasulullah menghadapi semua itu?”

“Beliau tetap sabar dan berdoa kepada Allah,” jawab Dara pelan.

Abah mengangguk dan mengusap kepala Dara dengan lembut.

“Jadi, apa yang bisa Dara pelajari dari kisah ini?”

Dara terdiam sejenak. “Dara harus lebih sabar kalau ada yang mengejek. Dan nggak boleh langsung sedih atau menyerah.”

“Bagus sekali, Nak. Ketika kita dicemooh atau dikritik, kita boleh sedih, itu wajar. Tapi kita tidak boleh menyerah. Kita tetap berusaha dan berdoa kepada Allah, seperti yang Rasulullah lakukan.”

“Tapi gambar Dara memang jelek, Abah.”

“Kata siapa? Kata kakak kelas itu? Semua orang selera seninyabeda-beda. Dan lagi, kemampuan gambar bisa diasah, Dara. Kamu masih punya banyak waktu untuk belajar dan berlatih.”

“Jadi menurut Abah, Dara nggak boleh berhenti menggambar?”

“Tentu saja tidak, Nak. Jangan pernah berhenti melakukan hal yang kamu sukai hanya karena kritik orang lain. Belajarlah dari kritik itu, jadikan motivasi untuk lebih baik.”

Dara tersenyum kecil. “Kalau gitu, besok Dara mau gambar lagi deh, Bah.”

“Nah, itu baru anak Abah yang hebat!” Abah mengacak rambut Dara dengan gemas.

Dara tertawa. “Iya, Bah. Makasih ya udah cerita. Dara jadi nggak sedih lagi.”

“Sama-sama, sayang. Ingat, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.”

Malam itu, Dara tidur dengan tenang. Di mejanya, tergeletak buku gambar dan pensil warna, siap digunakan besok pagi. Dalam hatinya kini tertanam pelajaran berharga tentang kesabaran dan ketabahan dari kisah Rasulullah di Thaif.

Leave a Comment