Kebanyakan orang dapat dengan mudah menarik kesimpulan dari kejadian di sekelilingnya. Dasarnya bisa dari pengalaman, data yang diketahui, ataupun pola berulang yang bisa dilihat. Tapi tidak semua kesimpulan yang kita buat dan yakini itu benar. Hal ini karena bahan penyusun kesimpulan itu sendiri terbatas dan bikin kesimpulan kita jadi keliru.
Di dalam bukunya berjudul Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menjelaskan karakteristik manusia yang suka dan mudah mengambil kesimpulan dari data atau sumber yang terbatas. Ini terbawa dari dorongan bagian otak reptil kita yang mengatur tindakan refleks, instingtif, dan reaksional. Maunya mempermudah kita menciptakan kesimpulan atau cerita biarpun bahan penyusunnya belum banyak/lengkap.
Hal ini bikin kita sering kali ga akurat dalam ambil kesimpulan. Padahal dalam statistik, salah satu cara kesimpulan akan akurat jika populasi data yang dipakai berjumlah besar. Semain besar populasi sample maka semakin kuat dan akurat sebuah pola terbaca. Semakin sedikit data semakin sulit kita melihat pola dan semakin lemah kesimpulan yang dihasilkan.
Ada kisah yang diceritakan Kahneman tentang pengambilan keputusan Gates Foundation yang mengalokasikan funding hingga milyaran dollar untuk membangun sekolah2 berskala kecil. Dasarnya karena hasil riset yang dilakukan konsultan mereka mengatakan bahwa sekolah terbaik adalah sekolah yang berukuran kecil. Siswanya sedikit, fokus, sehingga resource sekolah bisa optimal terserap peserta ajar. Ternyata keputusan ini tidak tepat.
Data yang menjadi rujukan tidak cukup besar dan kaya sehingga kesimpulan yang didapat juga salah. Kalau dilihat lebih menyeluruh, ternyata sekolah golongan terburukpun juga adalah sebagian diisi oleh sekolah berukuran kecil. Data yang sedikit membuat kita sulit ambil pola karena jadi banyak persebaran yang ekstrem. Sekolah kecil ada pada persebaran sekolah terbaik maupun sekolah terburuk.
Ukuran sebuah sekolah hanya salah satu variable, masih banyak variable lainnya yang perlu dijadikan pertimbangan. Bukan karena skala sekolah itu kecil maka ia bisa jadi sekolah unggulan. Sangat sulit untuk menarik kesimpulan sebab akibat dari sebuah kasus dengan variable yang banyak, data yang sedikit, dan situasi yang dinamis.
Dengan keterbatasan ilmu, kita juga cenderung ingin membuat “best possible story”. Jika data/fakta milik kita menghasilkan cerita yang bagus dan memperkuat dugaan kita, maka kita akan lebih mudah percaya.
Salah satu contoh bias yang banyak terjadi lainnya adalah pandangan bahwa CEO yang bagus menjadi penyebab perusahaan punya performa yang baik. Hal ini gak sepenuhnya salah, tapi banyak bias-nya.
Sulit mencari hubungan sebab akibat yang selalu konsisten untuk kesimpulan : CEO yang bagus menyebabkan perusahaan jadi bagus. Karena banyak kita lihat CEO yang bagus tapi perusahaannya tidak menjadi perusahaan paling mentereng di industrinya. Bahkan banyak kita lihat CEO nya biasa-biasa aja, bahkan toxic, tapi perusahaannya merajai pasar.
Kita sering baca di buku-buku bisnis tentang best practise dalam menjalankan bisnis, cara jadi manajemen yang efektif dengan segala formula-formula di dalamnya. Cerita2 itu dibangun dengan keterbatasan sample, sudah gitu mencoba menyederhanakan sebuah kondisi yang sangat dinamis dan kompleks.
Padahal kalau mau melihat perusahaan2 yang merajai pasar kita akan melihat banyak sekali parameter, baik yang bagus maupun yang jelek ada di dalamnya. Karena saking kompleksnya kita untuk analisis apa sebabnya, lebih mudah kita simplifikasi sebab sebuah perusahaan bagus adalah takdir Allah. Kalo kalangan materialis bilangnya keberuntungan.
Tapi kalau penyebab setiap bisnis berhasil adalah karena takdir dan kehendak Allah, tentunya buku-buku bisnis ga akan laku. Orang beli karena mereka ingin cari story yang menarik. Tentang CEO yang punya metode XYZ, tentang kisah ia membalikkan keadaan, hingga karakternya yang eksentrik.
Padahal belum tentu story yang diulas adalah penyebab utama keberhasilan bisnis yang dibahas di buku itu. Saya yakin di luar sosok sang CEO, jauh lebih besar sumbangsih parameter2 lainnya di dalam dan luar perusahaan yang bikin sebuah perusahaan jadi tokcer.
Bahkan kita sering membolakbalikkan sebab-akibat dari sebuah kondisi. Misalnya saat Google jadi perusahaan besar, mudah bagi kita untuk merangkai cerita bahwa ini disebabkan oleh kepemimpinan C-level mereka yang fleksibel, decisive, dan methodical.
Coba kalau ceritanya Google dengan takdir Allah jatuh, cerita yang muncul mungkin adalah CEO mereka yang confuse, rigid, dan otoriter. Antara fleksibel-decisive-methodical dengan confuse-rigid-otoriter itu beda tipis, yang satu digunakan untuk cerita sukses, yang lainnya digunakan untuk cerita penyebab kegagalan.
Bisa jadi bukan karena CEOnya rigid sebuah perusahaan jadi gagal, tapi karena perusahaannya gagal yang bikin CEOnya disebut rigid.
Ini bukan berarti saya menegasikan variable pemimpin gak penting untuk keberhasilan sebuah perusahaan ya. Tapi kesimpulan yang mensimplifikasi bahwa perusahaan bagus karena CEO bagus itu overstated.
Hubungan sebab akibat yang kolerasinya mutlak hanya bisa berlaku jika kita hidup di dunia yang predictable dan statis. Sementara kita hidup di dunia yang dinamis, tidak terprediksi, dan banyak sekali variablenya. Skenario Allah ga ada yang bisa menebak.
Oleh karena itu seharusnya sudah cukup bagi kita tuk mengimani bahwa kuasa Allah jauh lebih besar dari segalanya. Sekalipun kita dibilang orang hebat banget, the rising star, atau talent unggulan, semua itu bukanlah jaminan label-label kita jadi sebab keberhasilan kita atau entitas yang kita ayomi. Probabilitas dari kaca mata statistiknya ga lebih besar dari selemparan uang koin, 50-50.
Harusnya ini bikin kita mengamini bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari segala daya upaya kita. Bikin kita tidak arogan dengan semua kelebihan kita. Bikin kita sadar kita ini objek bukan subjek, bukan kita yang mempengaruhi apa yang terjadi di dunia ini. Bikin kita berserah diri dengan Sang Maha Kuasa. Kekuasaan Allah jauh lebih besar dari sekedar usaha dan kehebatan kita. Kehebatan kita bahkan ga sampai setitik kecil mempengaruhi jalannya kehidupan dunia ini.
Jadi perlukah CEO yang bagus untuk bikin perusahaan yang bagus? tentunya tetap perlu, tapi bukan variable sebab satu-satunya. Variable yang lainnya, termasuk yang tak bisa kita kontrol jauh lebih banyak. Jadi mudahkanlah diri kita dengan memahami bahwa variable yang banyak itu ga mungkin kita bisa pastikan dan usahakan semua kalau bukan karena kuasa dan pertolongan Allah.