Aslan melangkah dengan penuh percaya diri menuju saf terdepan. Hari ini, ia diminta untuk menjadi imam dalam shalat Maghrib di musala kampus. Sejak beberapa bulan terakhir, ia tengah berusaha menghafal Al-Qur’an dengan lebih serius. Ia ingin bisa memimpin shalat dengan hafalan yang ia miliki.
Takbir pun dikumandangkan. Rakaat pertama berjalan lancar. Aslan melantunkan surah Al-Qalam yang telah ia hafal dengan baik. Bacaan suaranya tenang, meskipun hatinya sedikit berdebar. Namun tiba-tiba pikirannya mendadak kosong saat mencapai ayat keempat:
“Wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim…”
Aslan terdiam. Kata-kata berikutnya tak kunjung muncul di benaknya. Ia mencoba mengingat, tetapi semakin keras ia berpikir, semakin sulit kata-kata itu kembali. Sunyi menyelimuti jamaah di belakangnya. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Dari belakang, seorang jamaah memberitahunan ayat berikutnya dengan pelan:
“Fasatubṣiru wayubṣirūn.”
Aslan segera mengikuti bacaan tersebut dan menyelesaikan rakaat dengan penuh kehati-hatian. Hatinya bergetar. Ia merasa malu. Selesai shalat, ia beristighfar berulang kali.
Saat para jamaah mulai bubar, Aslan tetap duduk termenung di sudut mushala. Kepalanya tertunduk, merasa kecewa pada dirinya sendiri.
Rayyan, yang sejak tadi memperhatikan, duduk di sampingnya. “Kenapa wajah lo murung begitu, Aslan?”
Aslan menarik napas panjang. “Gw lupa bacaan shalat tadi, Rayyan. Gw malu banget. Harusnya gw bisa lebih baik… Gw sudah menghafalnya, tapi tetap aja lupa waktu baca suratnya dalam shalat. Gw merasa sia-sia.”
Rayyan tersenyum. “Aslan, lo tahu nggak, bahkan Rasulullah pernah mengalami hal yang sama?”
Aslan menoleh, penasaran. “Maksud lo gimana?”
“Suatu hari, saat Rasulullah memimpin shalat, beliau lupa bacaan yang seharusnya beliau lantunkan. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, ‘Di mana Ubay bin Ka’ab? Kenapa ia tidak mengingatkanku?'”
Aslan terdiam, menyimak dengan saksama.
“Ubay bin Ka’ab adalah salah satu sahabat terbaik dalam hal Al-Qur’an. Ia termasuk empat sahabat yang hafal Al-Qur’an secara keseluruhan di zaman Rasulullah masih hidup, bersama Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, dan Zaid bin Tsabit. Rasulullah sendiri pernah bersabda, ‘Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang ini: Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal.’“
Aslan mengangguk pelan. “Gw tahu Ubay bin Ka’ab adalah salah satu sahabat yang istimewa dalam Al-Qur’an, tapi gw tidak tahu kisah itu.”
Rayyan melanjutkan, “Ubay bin Ka’ab bukan hanya hafal Al-Qur’an, tetapi ia juga salah satu juru tulis wahyu. Rasulullah bahkan menyebutnya sebagai Sayyidul Qurra, pemimpin para qari’. Suatu ketika, Rasulullah berkata kepadanya, ‘Wahai Ubay, sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan Al-Qur’an kepadamu.’ Bayangkan, Aslan, Allah sendiri yang menyebut nama Ubay! Saat mendengar itu, Ubay sampai menangis karena haru.”
Aslan semakin terkesima. “Subhanallah… Begitu istimewanya Ubay. Tapi, ternyata sekelas Rasulullah meskipun seseorang sudah hafal seluruh Al-Qur’an, tetap ada kemungkinan untuk lupa?”
Rayyan mengangguk. “Ya, bisa jadi Allah berkehendak terjadinya momen ini untuk menjadi pelajarn bagi kita bahwa tiada yang sempurna bagi makhluk ciptaan Allah. Berbuat salah itu bukan tanda kegagalan buat kita Aslan. Justru ini mengajarkan kita bahwa Al-Qur’an harus terus diulang-ulang. Itulah mengapa kita memiliki konsep muraja’ah atau mengulang hafalan. Bahkan para sahabat yang hafal Al-Qur’an pun tetap mengulanginya setiap hari.”
Aslan mulai mencerna kata-kata Rayyan. “Jadi… biarpun gw lupa dan salah, bukan berarti gw gagal dan ga punya harapan ya.”
Rayyan tersenyum. “Tepat sekali. Yang penting adalah gimana kita nyikapinnya. Kita mau berhenti karena lupa, atau justru makin semangat buat ngulang hafalan biar lebih kuat?”
Aslan menarik napas lega. Perlahan, semangatnya kembali tumbuh. Ia tersenyum kecil. “Terima kasih, Rayyan. Gw gak akan menyerah. Gw akan lebih rajin mengulang hafalan lagi.”
Rayyan menepuk pundaknya. “Itu semangat yang bagus. Yuk, kita murajaah bareng nanti setelah Isya. Kita mulai dari surah yang tadi lo lupa.”
Aslan mengangguk. Dalam hatinya, ia bersyukur memiliki sahabat seperti Rayyan, yang selalu mengingatkannya untuk tetap teguh dalam perjalanan menjadi lebih baik. Malam itu, ia kembali membuka mushafnya, mengulang ayat-ayat yang sempat hilang dari ingatannya. Kali ini, ia tidak lagi merasa terpuruk, tetapi semakin bersemangat untuk terus memperbaiki diri.