Hari ini adalah hari kedua Startup Academy-nya Badr Startup Studio. Pagi ini topiknya kebetulan tentang founder story.
Wahyu (CEO Yawme) dan Amri (CEO Skydu) akan sharing secara buka-bukaan tentang cerita mereka menggawangi startup mereka masing-masing. Tentang saat sulit, hingga pelajaran-pelajaran yang didapat darinya.
Dari lantai 2, sambil kerja saya dengarkan cerita mereka satu persatu. Kadang ketawa dan senyum-senyum sendiri dengarkan refleksi atas pengalaman mereka.
Dalam salah satu segmen ceritanya, ada penggalan kalimat Wahyu yang menarik perhatian saya.
“Ga ada tuh yang namanya work life balance kalau jadi founder startup”, ujar Wahyu setengah bercanda.
“Saya seminimal minimalnya pulang habis magrib, seringnya jam 9 malam bahkan” lanjutnya.
Sebagai orang yang biasa pulang rata2 malam juga, tentunya saya angguk angguk setuju, bahkan ketika saya nulis tulisan ini, waktu sudah menunjukkan pukul 22.45 dan saya masih di kantor 😀
Banyak orang di luar sana bilang punya usaha atau startup itu enak karena bisa punya waktu fleksibel, jadi bos atas semua tim kita, punya jabatan mentereng, hingga kemapanan finansial. Ternyata kenyataan sebenarnya, punya startup dan melakoninya di fase awal itu hampir semua kenikmatan-kenikmatan di atas tak akan kita miliki.
Berharap punya kelapangan waktu dan jam kerja fleksibel? sepengalaman saya, hampir setiap waktu kita isinya kerja, kerja dan kerja 😀 Bahkan termasuk weekend.
Kalau tanya ke istri saya, berapa jam saya kerja mungkin beliau akan jawab minimal 12 jam sehari 😀
Kita memang jadi pegang jabatan tertinggi dengan label mentereng seperti CEO, CFO, COO, atau C level lainnya. Tapi jangan harap kita akan semantiasa punya priviledge untuk jadi bos yang semua serba dilayani.
Bahkan kita seperti punya banyak sekali bos. Customer kita, investor kita, karyawan kita, partner-partner kira seketika berubah jadi bos yang harus kita penuhi dengan baik espektasinya. Belum lagi tuntutan tuk senantiasa jadi teladan dalam kedislipinan, kerja keras, dan performa.
Berharap punya segepok uang ketika jadi founder? Hmm kayaknya harus siap-siap kita merogoh kocek dalam-dalam saat fase awal karena telat gajian atau belum gajian dulu selama beberapa bulan.
Dengan kenyataan-kenyataan kayak begitu, kita harus siap bekerja extra keras dengan timbal balik materi yang mungkin gak setimpang di awal.
Jadi mungkinkah work life balance tercipta dalam hidup seorang founder di masa awal pendirian startup?
masih mungkin menurut saya, tapi akan penuh ketidakidealan dan akan super duper syulit tuk merealisasikan dan menjaganya.
Saya sejak kuartal 4 2018 kemarin menargetkan pada diri saya bisa punya kebiasan olah raga tiap hari, minimal-minimalnya 100x pushup. Seberapa sulit menjaga konsistensinya? syulit bangett, tapi bisa alhamdulillah. Caranya kadang saya baru bisa olah raga jam 11 malam setelah pulang ke rumah dari kantor, hingga curi-curi waktu di antara penggalan waktu-waktu rapat dan kerja tuk pushup satu dua set.
Selalu ada cara ketika kita benar-benar menginginkannya terjadi. Biarpun sulit
Makanya buat yang baca ini, kalau jomblo maka syukuri dan nikmatilah ke-jomblo-an mu. Karena itu jadi modal tuk bekerja dan berkarya lebih lama dan lebih keras. Buat yang sudah berkeluarga, maka komunikasikanlah dengan baik dan cari titik temu dengan keluarga kita tentang tuntutan berat yang sekarang ini kita sedang emban.
Tulisan ini tujuannya bukan menakut-nakuti atau mematahkan semangat. Tapi buat menakar espektasi kita bersama. Jangan sampai hanya karena lihat kehidupan startup yang keliatannya indah dan mentereng di media, jadi mengira kehidupan founder itu menyenangkan aja isinya.
Terakhir, jangan juga jadikan kerja keras kita di awal pendirian startup sebagai justifikasi tuk kita ga mampu penuhi targetan ibadah kita. Kerja keras bagai kuda boleh aja, tapi shalat berjamaah awal waktu di mesjid ga boleh lewat, tilawah min se-juz sehari jangan kasih kendor, dan lisan yang basah dengan dzikir bisa dijaga.
Sulit? memang, tapi tantangan ini worth tuk coba dijalani insyaAllah 🙂