Kita Full Time Entrepreneur, Bukan Full Time Fundraiser

Bagi semua orang, waktu adalah hal yang sangat berharga, terlebih untuk seorang entrepreneur/founder startup. Mereka adalah orang-orang yang berpacu dengan waktu untuk memverifikasi model bisnis startupnya sebelum resource terbatas mereka seperti uang, momentum di market, atau semangat habis.

Oleh karena itu pertimbangan matang tentang optimalisasi waktu dengan aktivitas yang akan dilakukan harus benar-benar baik. Terlebih untuk sebuah startup yang masih berada di fase awal dan butuh banyak hal yang harus dilakukan, foundernya mungkin akan menjadi CEO (Chief Everything Officer), mengerjakan semua yang dibutuhkan perusahaannya untuk berkembang sendirian karena belum mampu menggaji karyawan.

Dalam pertimbangan alokasi waktu tersebut, maka seorang founder startup harus memprioritaskan waktunya untuk mencari cara meningkatkan performa bisnisnya seoptimal mungkin. Namun sering kali ada banyak founder startup yang terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk aktivitas yang tidak berelevansi langsung dengan sustainabilitas bisnisnya atau belum tepat saatnya mengalokasikan waktunya untuk hal tersebut, salah satu yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah fundraising atau mencari investasi.

Pertama perlu kita tanamkan bersama bahwa tujuan menciptakan startup bukanlah untuk mendapatkan investasi dari satu tahapan investasi ke tahapan lebih tinggi lainnya. Investasi hanyalah sebuah tools untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan bisnis startup, bukan tujuan. Bagi saya tujuan dari sebuah startup adalah menciptakan dan memberikan nilai tambah kepada orang lain, sedemikian sehingga nilai tambah tersebut berharga untuk ditukar dengan pendapatan dari target market kita dan menjadi keuntungan bisnis bagi kita. Semakin berharga dan scalable nilai tambah, semakin cepat perusahaan kita berkembang.

Jika kita bisa menciptakan produk yang dengannya bisa memfasilitasi cara baru untuk membuat biaya transportasi 50% lebih murah, biaya makan 50% lebih murah, pendidikan merata dan murah ke semua orang, atau manfaat-manfaat substansial lainnya yang berdampak signifikan dalam hidup kita, lalu kita tetap bisa menghasilkan keuntungan signifikan untuk sustainabilitas dan pertumbuhan bisnis kita, menurut saya itu adalah puncak kesuksesan seorang founder startup.

Media-media populer yang membahas tentang dunia startup memang seringkali mengaburkan mindset tersebut. Di sana banyak diceritakan bagaimana satu startup dapat pendanaan jutaan dolar dari investor atau bagaimana startup lainnya diakusisi oleh perusahaan yang lebih besar dengan nilai sangat fantastis. Seolah-olah kita bisa mendapatkan investasi dengan mudah hanya dengan datang, berbincang, dan presentasi dengan venture capital di Sillicon Valley atau pusat-pusat startup dunia lainnya.

Hal ini kadang membuat tujuan hakiki kita ingin mendirikan startup untuk memberikan nilai tambah bergeser, dari seorang founder startup menjadi menjadi fundraiser uang investor. Mencari investasi bukan hal yang buruk, karena dengannya di waktu yang tepat dan penggunaan yang bijak, kita bisa bertumbuh lebih cepat. Yang perlu kita perbaiki adalah ketika kita secara tidak sadar mulai menjadikannya sebagai tujuan utama kita mendirikan startup.

Kemarin ada salah satu sesi sharing di program akselerasi bisnis yang sedang saya ikuti di 500 Startups ini yang dihadiri oleh salah satu founder startup yang menurut saya sangat baik untuk menjadi pelajaran bagi kita. Beliau ini berhasil melakukan fundraising pendanaan sebesar USD 27 juta (sekitar Rp 370 Milyar) yang terdiri dari 3 round: seed stage, seri A, dan seri B. Namun produknya gagal dan telah ditutup saat ini.

Saya membayangkan uang sebanyak itu dikumpulkan sebagai modal dan kini tidak berbuah hasil secara materi bagi para shareholder. Memang pastinya sangat banyak pelajaran, network, dan ilmu untuk para founder dan shareholder dari kegagalan startupnya tersebut. Namun kredibilitasnya sebagai seorang profesional dipertaruhkan di sana. Dan beliau mengakui secara terbuka bahwa saat itu menjadi masa terburuk sepanjang karir profesionalnya selama hidup.

Ketika ditanya apa penyebab kegagalannya, ia mengatakan bahwa produknya tidak bisa mencapai product-market-fit, sebuah kondisi dimana kita berhasil membuat dan memferivikasi bahwa produk kita dibutuhkan, diterima, dan mendatangkan keuntungan di pasar. Kegagalan ini seharusnya bisa dihindari, minimal diantisipasi sebelum ia memutuskan melakukan fundraising dari satu stage ke stage investasi lainnya sehingga dampak kerugian yang ditimbulkan bisa diminimalisir. Alih-alih menyadari sedini mungkin, beliau tanpa sadar terus memfokuskan dirinya mendapatkan pendanaan lebih besar ketika dirasa uang mulai menipis dan kebutuhan semakin besar.

Beliau mengakui bahwa mendapatkan modal yang besar membuatnya pernah menganggap semua masalah bisa diselesaikan dengan uang. Melakukan akusisi customer dengan menggunakan uang dalam jumlah besar tanpa perhitungan dan validasi yang matang. Bahkan startupnya sempat ekspansi hingga ke 18 negara dalam waktu singkat untuk memperluas pasar, bayangkan berapa uang yang dihabiskan untuk melakukan ekspansi tersebut sementara produknya belum memberikan kepastian telah terverifikasi dengan baik.

Beliau saat ini sedang mempersiapkan startup barunya dan saya rasa dengan pengalamannya itu, ia akan menjadi jauh lebih bijak dalam melakukan pendanaan. Sebelum kita melakukan kesalahan yang sama, ada baiknya kita belajar dari pengalamannya dan menempatkan aktivitas mencari investasi ini dalam tempat yang tepat dan proporsional.

Kita adalah fulltime entrepreneur, bukan full time fundraiser, sehingga tugas utama kita bukan selalu tentang mengumpulkan pendanaan, tapi membesarkan bisnis kita. Fokus yang terlalu besar pada mengumpulkan pendanaan akan membuat kita tidak bisa optimal membesarkan startup kita. Kita mungkin cenderung abai untuk menangkap gejala-gejala kecil yang membawa startup kita menuju kegagalan, atau setidaknya terlambat menyadarinya.

Kita adalah fulltime entrepreneur, bukan full time fundraiser, sehingga kepuasan terbesar kita bukan ketika startup kita dimuat di media karena mendapatkan pendanaan bermilyar-milyar atau dikagumi banyak orang karena tiba-tiba sedang memimpin perusahaan bervaluasi triliunan rupiah, tapi ketika produk startup kita terbukti bekerja, diterima pasar, memberikan nilai tambah, mendatangkan keuntungan dan growth untuk perusahaan.

Lagipula melakukan fundraising bukanlah perkara sederhana. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan usaha yang tidak sedikit. Di Sillicon Valley ternyata adalah hal yang biasa seorang founder startup melakukan sangat banyak approach ke para investor saat mencari pendanaan. Ada salah satu mentor kami di sana yang mengatakan, saat ini dibutuhkan rata-rata minimal 150 kali pertemuan dengan investor yang berbeda untuk berhasil mendapatkan pendanaan modal. Saya berpikir sejenak, kalau sampai approach ke 150 investor tentunya akan semakin besar kemungkinan ada minimal setidaknya 1 orang investor yang memutuskan untuk memberikannya modal (probabilitasnya 0,6%). Pertama karena kerja kerasnya, kedua karena ia semakin baik dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya dalam presentasi bisnis dan menanggapi investor, sehingga sudah semakin ahli menjadi seorang fundraiser. Bayangkan melakukan ratusan pitching investor, pasti presentasinya sudah sangat melekat dan antisipasi terhadap beragam pertanyaan bisa dilakukan.

Kalau produk kita bagus, sudah bisa mecapai kondisi product-market-fit, terlebih punya traction yang bagus, maka para investor yang akan datang sendiri kepada kita. Kondisi itu membuat daya tawar kita juga akan semakin bagus.

Dibutuhkan alokasi waktu khusus ketika melakukannya dalam timeline perencanaan bisnis kita, bukan khusus melakukannya sepanjang waktu kita menjalankan bisnis.

Lakukanlah fundraising di saat yang tepat ketika kita membutuhkannya, kapankah itu? Hanya kita yang bisa menakarnya, karena setiap startup punya karakteristik yang berbeda-beda dan setiap startup punya kondisi finansial yang berbeda-beda.

7 thoughts on “Kita Full Time Entrepreneur, Bukan Full Time Fundraiser”

  1. Untuk artikel yg ini, saya berbeda pandangan.
    Rumus dasar akuntansi tidak bisa dirubah :
    Harta = Hutang + Modal.
    Tanpa investor, bisnis is just a small thing.

    Saya setuju, waktu sangat terbatas, untuk itu menurut saya, lebih baik pastikan dulu bahwa bisnisnya, akan diminati investor atau pastikan dulu ada investor yg berminat.

    Jika tidak, maka bisnis tak akan bisa besar (kecuali anda memang “nyaman” memiliki bisnis kecil2 an)

    Noted : Bisnis kecil apalagi terlalu kecil, tidak bisa sustainable, dan hasilnya < dari kerja di perusahaan, kecuali untuk "blue colar workers"

    Terima kasih
    Uangrakyat.com

    Reply
    • kalau diperhatikan secara lebih seksama, tulisan saya kali ini bukan tentang menegasikan pentingnya modal dalam sebuah bisnis, tapi tentang bagaimana dengan bijak menempatkan aktivitas fundraising modal tersebut pada saat yang tepat dan tidak menjadikan mencari investasi sebagai tujuan dari berbisnis melainkan menjadikan investasi sebagai tools akselerasi growth bisnis kita. Silakan dilakukan, baik itu di awal, di tengah, atau kapanpun bergantung karakteritik dari bisnis kita. Setiap bisnis punya karakter berbeda yang menyebabkan timing untuk raising capital pun berbeda 🙂

      Reply
  2. Mas Andreas Senjaya, itu yang sharing dapat dana USD 27 juta apa dia harus mengembalikan uangnya atau investornya merelakan uangnya? dia kan buat starup lagi apa investor bisa percaya lagi sama dia?
    kalo cari investor di crowdfunding menurut mas Senjaya gimana?

    lucu banget mas istilah CEO (Chief Everything Officer) 😀

    Reply

Leave a Reply