Yang Tidak Diundang dan yang Tak Teringat

Rico menatap layar ponselnya, jemarinya dengan cepat menggeser galeri foto. “Gue rasa jas navy lebih cocok daripada hitam klasik,” katanya sambil menunjukkan foto ke Dika, co-founder sekaligus sahabatnya.

“Lo kan tech founder, justru harus beda dari eksekutif lawas,” balas Dika sambil menyesap espresso-nya. “Pesta pernikahannya anak William Lo sama putrinya Gunawan Hartono, bro. Semua orang penting bakal hadir.”

Sore itu, mereka duduk di kafe bergaya industrial di kawasan SCBD. Cangkir kopi di meja masih mengepul, sementara keduanya sibuk membahas agenda akhir pekan—undangan pernikahan anak konglomerat properti dan ritel terbesar di Indonesia.

“Gue denger C-level executives dari Hartono Group sama Astra juga bakal dateng,” ujar Dika sambil mengedipkan mata. “Siapa tahu bisa pitching pas berpapasan nanti.”

Rico tertawa. “Ngejar klien korporasi di nikahan orang? Desperate amat.”

“Bisnis kita butuh land big clients buat scaling, bro. Mau gimana lagi?”

Perusahaan mereka, TechVenture, masuk tahun kelima dengan pertumbuhan yang menjanjikan. Sebagai IT consultant company, mereka membantu perusahaan dalam membuat produk teknologi yang dibutuhkan. Beberapa perusahaan menengah sudah menjadi klien tetap. Tapi untuk benar-benar scale up, mereka butuh klien korporasi besar yang bisa jadi referensi dan bawa recurring revenue signifikan.

Saat menggeser galeri untuk mencari referensi jas, jemarinya terhenti pada sebuah gambar undangan dari chat WhatsApp yang belum terbaca. Pesan dari Pak Darto, office boy di kantornya, tertanggal tiga minggu lalu.

“Mas Rico, minggu depan saya nikahin anak saya. Kalau sempat, saya undang ke rumah sederhana kami ya. Doakan ya Mas.”

Rico terdiam. Sensasi tidak enak menjalar di dadanya. Ia bahkan tidak membalas pesan itu.

“Kenapa?” tanya Dika, menyadari perubahan ekspresi temannya.

“Nggak,” jawab Rico singkat. Tapi pikirannya berlari ke belakang.


Pak Darto, 56 tahun, adalah orang pertama yang menyapanya setiap pagi di kantor. “Selamat pagi, Mas Rico. Kopinya sudah saya siapin,” sapanya selalu dengan senyum tulus. Dialah yang datang paling pagi sebelum subuh untuk bersihkan kantor, membersihkan semua meja kerja sebelum para karyawan lain datang, mencuci semua piring gelas bekas makan minum tim TechVenture, dan bahkan pernah mengantar dokumen penting yang tertinggal ke rumah Rico di tengah hujan deras.

Seminggu lalu, anak perempuan satu-satunya Pak Darto menikah. Dan Rico—yang diundang secara pribadi oleh pria sederhana itu—melupakannya begitu saja.

“Bro,” suara Dika membuyarkan lamunannya. “Lo kenapa sih?”

“Gue… baru sadar sesuatu,” Rico meletakkan ponselnya. “Gue diundang ke pernikahan anak Pak Darto minggu lalu. Dan gue lupa total.”

“Pak Darto? OB kantor kita?”

Rico mengangguk, rasa bersalah semakin kuat. “Dia udah kerja buat kita dari hari pertama. Lima tahun.”

“Ya udah, beliin dia hadiah aja,” kata Dika santai. “Tapi fokus dulu ke acara weekend ini. Ini kesempatan besar.”

Tapi pikiran Rico tidak bisa beralih. Ia teringat bagaimana Pak Darto selalu menjadi orang yang bersedia membantu apa saja yang diminta buat urusan kantor. Bagaimana ia dengan malu-malu mengundang Rico, berharap kehadirannya di acara paling bahagia keluarganya.

“Lo tahu kisah Adi bin Hatim?” tanya Rico tiba-tiba.

“Siapa? Pemain bola?”

Rico tersenyum tipis. “Bukan. Dia pemimpin suku salah satu kabilah besar di Arab. Ada cerita yang pernah gue baca waktu SMA.”


Adi bin Hatim adalah putra dari Hatim at-Ta’i, seorang pemimpin suku Tayy yang terkenal dengan kemurahan hatinya. Siapa saja orang yang memerlukan akan dibantunya. Namanya masyur ke seluruh jazirah Arab. Setelah kematian ayahnya, Adi menjadi pemimpin sukunya dan dikenal sebagai raja Kristen Arab.

Ketika Islam mulai menyebar, Adi bin Hatim—yang merasa terancam oleh kekuatan Rasulullah—melarikan diri ke Suriah. Sementara itu, saudara perempuannya tertangkap oleh pasukan Muslim dan dibawa ke Madinah.

Di Madinah, saudara perempuan Adi dengan berani berbicara kepada Nabi Muhammad SAW, meminta kebebasannya. Nabi akhirnya membebaskan wanita itu, yang kemudian mendorong Adi untuk menemui Muhammad SAW untuk memastikan apakah benar Nabi Muhammad adalah rasul utusan Allah.

Ketika Adi tiba di Madinah, orang-orang mengenalinya dan berseru, “Itu Adi bin Hatim!” Begitu terkenalnya dia. Adi kemudian masuk ke masjid dan menemui Nabi. Rasulullah langsung menyambutnya dengan hangat, memegang tangannya, dan menggandengnya ke rumahnya—suatu kehormatan yang jarang diberikan pada setiap orang yang jadi tamunya.

Dalam perjalanan ke rumah Nabi, seorang wanita tua menghampiri mereka. Dia berkata, “Ya Rasulullah, aku punya kebutuhan.” Nabi melepaskan tangan Adi dan berhenti untuk mendengarkan wanita tua itu dengan penuh perhatian. Setelah menyelesaikan urusannya, Nabi kembali kepada Adi.

Adi yang melihat kejadian itu kemudian bergumam pada dirinya sendiri, “Demi Allah, ini bukan karakteristik seorang raja. Ini karakteristik seorang nabi.”

Ketika tiba di rumah Nabi, Adi terkejut melihat kesederhanaannya—hanya ruangan kecil tanpa perabotan mewah. Rasulullah menawarkan satu-satunya bantal usang kepada Adi, sementara beliau duduk di lantai tanah.

Nabi kemudian bertanya, “Wahai Adi, apa yang mencegahmu dari mengucapkan laa ilaaha illallah?”

Saat Adi terdiam, Rasulullah mengejutkannya dengan pengetahuan mendalam tentang agama yang dianutnya, termasuk fakta bahwa Adi mengambil seperempat kekayaan rakyatnya—sesuatu yang dilarang dalam ajaran agamanya sendiri.

“Aku mengetahui agamamu lebih baik dari dirimu sendiri,” kata Nabi.

Adi tertunduk, lalu memeluk Islam. Setelah itu, ia kembali ke sukunya dan menjadi pembela Islam yang gigih. Bahkan saat banyak suku murtad setelah wafatnya Rasulullah, Adi tetap teguh dan kelak menjadi panglima dalam pasukan Ali bin Abi Thalib.


“Nabi punya waktu untuk semua orang,” ujar Rico pelan. “Raja Arab yang terkenal, wanita tua yang nggak punya apa-apa. Semua dianggap penting.”

“Lo mau nyamain diri sama Nabi sekarang?” Dika tertawa kecil.

Rico menggeleng. “Bukan gitu. Gue cuma sadar, kita sibuk nyari pengakuan dari orang-orang ‘penting’, tapi lupa ngakuin orang-orang yang tiap hari bantu kita.”

“Ini soal Pak Darto lagi?”

“Ini soal siapa kita, Dik. Gue pengen TechVenture jadi perusahaan besar, tapi juga punya nilai. Bukan cuma angka di spreadsheet.”

Rico membuka ponselnya lagi, mencari kontak HR. “Gue mau tanya alamat rumah Pak Darto.”


Keesokan harinya, Rico berkendara menuju kawasan Pondok Cina Depok. Perjalanan yang memakan waktu sejam dari apartemennya di Jakarta Selatan. Jalanan sempit dan padat akhirnya membawanya ke sebuah permukiman padat. Rumah kontrakan kecil berderetan, buat jalan saja susah apalagi untuk motor lewat.

Rumah Pak Darto adalah kontrakan petak sederhana bercat hijau pudar. Halaman kecil di depannya tampak bersih—khas kebiasaan Pak Darto yang selalu rapi.

Dengan ragu, Rico mengetuk pintu. Tak lama, wajah familiar muncul.

“Mas Rico?” Pak Darto terlihat terkejut. Matanya melebar.

“Selamat siang, Pak Darto,” sapa Rico. “Maaf saya datang tanpa kabar.”

“Astaga, masuk, Mas, masuk!” Pak Darto tampak kikuk, cepat-cepat membuka pintu lebih lebar.

Rico melangkah masuk ke ruang tamu, yang menyatu juga dengan kamar tidur. Foto pernikahan dalam bingkai silver terpajang di dinding—putri Pak Darto dalam balutan kebaya putih, tersenyum bahagia di samping seorang pemuda.

“Istri baru ke pasar, Mas. Kalau tahu Mas Rico mau datang, dia pasti masak spesial.”

“Pak Darto,” Rico menarik napas dalam. “Saya minta maaf. Saya dapat undangan pernikahan putri bapak, tapi saya lupa. Saya benar-benar minta maaf.”

Pak Darto tersenyum lembut. “Nggak apa-apa, Mas. Saya paham Mas sibuk.”

“Nggak, Pak. Sibuk bukan alasan untuk nggak menghargai orang lain,” Rico menyerahkan amplop dan sebuah kotak. “Ini hadiah kecil untuk pernikahan Mbak Aminah. Dan ini kenang-kenangan dari saya pribadi.”

Mata Pak Darto berkaca-kaca. “Mas nggak perlu repot-repot.”

“Justru saya yang harusnya berterima kasih,” Rico tersenyum tulus. “Pak Darto selalu ada tiap pagi, nyiapin kopi, beresin kantor. Tanpa Bapak, kantor nggak akan jalan lancar.”

Mereka berbincang hampir satu jam. Rico baru tahu bahwa Pak Darto dulunya bekerja di perusahaan tekstil selama 25 tahun sebelum pabrik tutup. Bahwa putrinya, Aminah, baru lulus kuliah dari universitas terbuka.

Saat berpamitan, Rico merasa lebih ringan. Ada pelajaran berharga yang ia petik hari itu.


Malam Sabtu, Rico hadir di ballroom hotel bintang lima. Pernikahan anak konglomerat itu memang semeriah yang diperkirakan—rangkaian bunga eksotis, lampu kristal, orkestra live, dan ratusan tamu berpakaian mewah.

Rico memakai setelan jas navy-nya, tapi kali ini bukan untuk mengejar kesan “visioner founder”. Ia hadir bukan untuk tampil, tapi untuk menjalin relasi—dengan tulus.

Saat berbincang dengan CEO sebuah perusahaan logistik, Rico tidak langsung membicarakan kontrak atau proposal. Ia bertanya tentang tantangan industri dan bagaimana teknologi bisa membantu pekerja di lapangan. Ketika bertemu dengan Direktur Supply Chain dari Hartono Group, Rico tidak melakukan hard selling. Ia justru membicarakan filosofi bisnis dan keberlanjutan.

“Gue lihat lo beda malam ini,” kata Dika saat mereka berdiri di dekat meja minuman. “Lebih… tenang?”

Rico tersenyum. “Gue sadar sesuatu, Dik. Waktu Nabi Muhammad ketemu Adi bin Hatim, dia ngasih kehormatan tinggi ke orang yang statusnya tinggi. Tapi di saat yang sama, dia juga perhatian sama wanita tua yang nggak punya apa-apa.”

“Jadi?”

“Menghormati yang tinggi itu baik. Tapi nggak boleh dengan mengorbankan perhatian ke yang lebih rendah.” Rico meneguk minumannya perlahan. “Itu yang pengen gue terapin di TechVenture.”

“Lo berubah cuma gara-gara nggak dateng ke nikahan anak Pak Darto?”

“Bukan berubah, Dik. Tapi sadar,” Rico menatap keramaian pesta. “Gue sibuk nyari pengakuan dari yang di atas, tapi lupa memberi perhatian buat yang tiap hari ada di bawah mata gue.”

Ponsel Rico bergetar. Sebuah pesan dari Pak Darto: “Terima kasih sudah mampir, Mas Rico. Aminah dan suaminya sangat senang dengan hadiahnya. Semoga TechVenture semakin sukses. Saya bangga bisa kerja di perusahaan Mas.”

Rico tersenyum. Perusahaannya masih panjang perjalanannya. Tantangan masih banyak menghadang. Tapi malam itu, ia menemukan kompas baru—bahwa membangun bisnis bukan hanya soal angka dan prestasi, tapi juga tentang menghargai tiap orang yang menjadi bagian dari perjalanan itu.

Ada nilai yang tak terukur oleh aset perusahaan: kerendahan hati untuk melihat kemuliaan dalam kesederhanaan.

Leave a Comment