Musibah yang Bukan Musibah

Sore itu, langit Jakarta mulai memerah. Rico duduk di kursi penumpang mobil Burhan, sahabatnya sejak kuliah. Sesekali matanya menatap kosong ke arah jalanan yang mulai dipadati kendaraan pulang kantor. Pikirannya masih tertambat pada rapat dua jam lalu dengan PT Mitra Sejahtera, klien terbesar perusahaannya.

“Macet banget nih, Bur. Kayaknya kita baru sampai Depok lewat magrib,” kata Rico memecah keheningan, mencoba mengalihkan kegelisahan yang berkecamuk dalam pikirannya.

Burhan melirik Rico sekilas sambil tetap fokus menyetir. “Lo kenapa sih dari tadi diem aja? Biasanya cerewet banget. Rapat sama klien lancar?”

Rico menghela napas panjang. Sudah tiga tahun ia membangun TechVenture, startup di bidang pengembangan aplikasi yang menjadi mimpinya sejak kuliah di fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Setelah lulus dengan predikat cum laude, Rico langsung terjun membangun bisnisnya, tanpa mau melamar kerja di perusahaan besar seperti teman-temannya.

“Gue lagi bingung, Bur. PT Mitra Sejahtera barusan bilang mereka nggak bisa lanjut kontrak sama kita tahun depan,” ujar Rico akhirnya.

“Hah? Serius lo? Bukannya mereka klien terbesar lo?” tanya Burhan kaget.

Rico mengangguk lemah. “Delapan puluh persen pendapatan gue dari sana, Bur. Ada pergantian direksi, kebijakan baru. Mereka mau kerjasama sama vendor yang lebih gede.”

Burhan terdiam. Ia tahu betul betapa keras Rico berjuang membangun TechVenture. Sejak kuliah, Rico selalu bermimpi menciptakan perusahaan teknologi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja dan berkontribusi untuk Indonesia.

“Gue nggak tau harus gimana, Bur,” lanjut Rico. “Dulu di kampus semua gampang. Nilai gue selalu bagus, lomba coding selalu menang. Gue pikir bisnis juga bakalan gampang. Ternyata…”

“Dunia nyata emang beda, Co,” sahut Burhan. Kini mobil mereka terjebak dalam kemacetan total.

Burhan terdiam sejenak, lalu melirik Rico yang masih murung. “Gue jadi inget sesuatu, Co. Situasi lo sekarang ngingetin gue sama kisah hidup seseorang yang luar biasa. Lo tau nggak kisah Salman Al Farisi? Sahabat Rasulullah yang perjalanan hidupnya penuh ujian tapi justru berakhir dengan kemuliaan.”

Rico menggeleng. “Ceritain dong. Daripada pusing mikirin bisnis gue yang berantakan.”

Burhan tersenyum. Ia memang dikenal sebagai teman yang paling luas wawasan agama dan sejarahnya.

“Salman Al Farisi itu asalnya dari Persia, dari keluarga kaya raya. Bapaknya punya banyak tanah, dan Salman dipercaya jadi penjaga api suci di kuil agama Zoroaster,” Burhan memulai ceritanya.

“Terus gimana?” tanya Rico, mulai tertarik.

“Suatu hari dia ketemu pendeta Kristen. Dia tertarik sama ajaran mereka dan memutuskan pindah agama. Tapi bapaknya nggak setuju, malah mengurung Salman di rumah.”

“Kayak sinetron aja,” Rico tersenyum tipis.

“Tapi Salman nekat kabur. Dia memulai perjalanan panjang mencari kebenaran. Pertama ke Suriah, lalu ke Yerusalem, Mosul di Irak, kemudian Nisibis di perbatasan Turki-Suriah, dan akhirnya ke Amorium di dekat Konstantinopel. Bayangkan perjalanan sejauh itu di zaman tanpa transportasi modern, Co. Dari satu pendeta ke pendeta lain, dari satu kota ke kota lain, melewati gurun pasir, pegunungan, dan bahaya perampok.”

“Tiap kali seorang pendeta meninggal, Salman bertanya ‘ke mana lagi aku harus mencari kebenaran?’ dan dia akan melanjutkan pencarian ke pendeta berikutnya, sampai akhirnya pendeta terakhir di Amorium memberitahu bahwa akan muncul seorang nabi di tanah Arab, pembawa agama Ibrahim yang murni.”

Jalanan masih macet. Rico mendengarkan dengan seksama.

“Dalam perjalanan ke Arab, Salman ditipu, dijual sebagai budak, dan akhirnya sampai di Madinah. Di sana dia jadi budak seorang Yahudi. Bayangin deh, Co, dari anak orang kaya, jadi budak. Musibah banget, kan?”

Rico mengangguk. “Tapi gue rasa jadi budak masih mending daripada bisnis bangkrut,” ujarnya setengah bercanda.

“Nah, di sinilah pointnya,” Burhan melanjutkan dengan lebih bersemangat. “Salman akhirnya ketemu Rasulullah, masuk Islam, dan jadi salah satu sahabat utama. Bahkan Rasulullah pernah bilang, ‘Salman adalah bagian dari keluargaku.’ Dia ikut perang Khandaq dan ide paritnya menyelamatkan kaum muslimin.”

“Intinya apa nih, Bur?” tanya Rico penasaran.

“Intinya, nggak ada musibah yang benar-benar musibah kalau lo punya tawakal sama Allah. Dijual jadi budak itu musibah besar, tapi justru itu yang bikin Salman bisa ketemu Rasulullah. Sama kayak Nabi Yusuf yang dibuang ke sumur, dijual, difitnah, dipenjara—semua musibah itu justru yang bikin dia akhirnya jadi penguasa di Mesir.”

Rico tertegun. Ia teringat ayahnya yang selalu mengingatkan bahwa bisnis naik-turun itu biasa.

“Gue tau lo founder yang pinter, Co. Nilai akademis lo selalu bagus. Tapi hidup nggak cuma soal kepintaran. Ada faktor ketabahan, keberanian ambil risiko, dan yang paling penting, tawakal,” ujar Burhan lagi.

“Tapi perusahaan gue bisa bangkrut, Bur. Dua puluh karyawan gue bisa kehilangan pekerjaan,” Rico terdengar putus asa.

“Lo inget nggak, startup pertama lo yang gagal dua tahun sebelum TechVenture? Lo bangkrut, tapi justru dari situ lo belajar, dan akhirnya bisa membangun TechVenture lebih baik.”

Rico terdiam. Benar juga. Kegagalan pertamanya justru memberikan pelajaran berharga.

“Harusnya gue lebih siap, ya? Nggak cuma andalin satu klien besar,” gumam Rico.

“Exactly! Anggap aja ini peringatan dari Allah supaya bisnis lo lebih kokoh. Mungkin setelah ini lo malah bakal dapat klien yang lebih besar, atau produk baru lo bakal laku keras.”

Kemacetan mulai terurai. Mobil Burhan kembali melaju perlahan.

“Salman Al Farisi itu sampai akhirnya jadi gubernur di Persia, negeri asalnya. Dari budak jadi pemimpin. Itu semua karena dia nggak pernah menyerah dan selalu tawakal,” lanjut Burhan.

Rico menatap langit senja Jakarta yang mulai gelap. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Sebuah ketenangan yang tidak ia duga.

“Makasih, Bur. Gue rasa gue bakal coba beberapa strategi baru. Mungkin udah saatnya ekspansi ke pasar yang lebih luas, nggak cuma bergantung sama satu klien,” ujar Rico.

“Nah, itu baru founder yang gue kenal!” Burhan menepuk pundak sahabatnya. “Dan satu lagi, Co. Jangan lupa selalu minta petunjuk Allah. Lo pinter, tapi Allah jauh lebih tau apa yang terbaik buat lo.”

Rico tersenyum. Ia mengulang dalam hatinya:

Tidak ada musibah yang benar-benar musibah, selama kita bertawakal kepada Allah.

Entah mengapa, kalimat itu memberikan kekuatan luar biasa padanya.

“Besok gue mau kumpulin tim, brainstorming strategi baru.” kata Rico, semangatnya mulai kembali.

“Mantap, bos!” Burhan tertawa. “Tuh kan, musibah aja belum sehari, lo udah punya rencana baru.”

Mobil mereka akhirnya keluar dari kemacetan. Seperti beban yang terangkat dari pundak Rico, jalan di depan tiba-tiba terasa lapang. Mungkin memang benar, setiap kesulitan selalu diikuti kemudahan. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Leave a Comment