Buah Kompetensi

Mobil melaju perlahan meninggalkan kompleks perumahan di kawasan padat kota Depok. Dara menatap keluar jendela sambil sesekali mengendus parfum baru yang digenggamnya.

“Wanginya enak banget, Bu,” kata Dara, memandangi botol parfum mungil pemberian Pak Hasan, dosen kimia yang baru dikunjungi Abah dan Ibu barusan.

Ibu tersenyum dari kursi depan sambil menyuapi adik Dara yang masih balita.

“Alhamdulillah ya, Dara senang dengan hadiahnya,” jawab Ibu.

Dara kembali mengendus parfumnya. Wangi bunga melati bercampur citrus segar membuatnya tersenyum lebar.

“Abah, aku mau jadi ahli kimia ah nanti kalau besar,” celetuk Dara tiba-tiba. “Biar bisa bikin parfum yang wangi kayak gini.”

Abah tersenyum sambil tetap fokus mengemudi. Adik Dara yang lain tertidur di kursi belakang.

“Minggu lalu katanya mau jadi ustadzah, Dar. Sebelumnya dokter anak. Terus pernah juga bilang mau jadi dokter hewan,” ujar Abah sambil terkekeh pelan.

Dara mengerucutkan bibirnya. “Iya sih. Tapi sekarang pengin jadi ahli kimia. Kayak Pak Hasan tadi, keren banget bisa bikin parfum sendiri terus punya pabrik segala.”

“Mau jadi apa pun boleh, Sayang. Yang penting kamu serius dan jadi ahli di bidang itu,” kata Abah.

“Maksudnya gimana, Bah?”

“Maksud Abah, kalau mau jadi ahli kimia, ya beneran jadi ahli. Punya kompetensi yang bagus. Jangan cuma setengah-setengah,” jelas Abah.

Dara mengangguk meski belum sepenuhnya paham. “Kompetensi itu apa sih, Bah?”

“Kompetensi itu kemampuan yang benar-benar kamu kuasai di bidang itu. Misalnya Pak Hasan tadi, dia kompeten di bidang kimia, makanya bisa bikin parfum dan sabun yang bagus.”

Mobil mereka terjebak macet di pintu tol. Abah memperlambat laju kendaraan.

“Dara tahu nggak, sahabat Rasulullah yang namanya Utsman bin Affan itu punya kompetensi hebat?”

Dara menggeleng. “Kompetensi apa, Bah?”

“Beliau sangat kompeten dalam berniaga. Berdagang. Utsman bin Affan itu pedagang yang sukses banget. Tapi yang lebih hebat, hasil dari kompetensinya itu digunakan untuk membantu banyak orang,” jelas Abah.

“Membantu gimana, Bah?” tanya Dara, kini benar-benar tertarik.

“Jadi waktu itu, setelah kaum muslimin hijrah ke Madinah, mereka kesulitan mendapatkan air bersih. Air di Madinah dikuasai oleh pemilik sumur Yahudi yang menjual airnya dengan harga mahal.”

“Terus gimana, Bah?”

“Rasulullah kemudian bersabda, ‘Siapa yang membeli sumur Bi’r Rummah ini untuk kaum Muslimin, maka baginya surga.’ Beberapa orang mencoba membelinya, tapi harganya sangat mahal, tidak ada yang sanggup.”

“Nah, karena Utsman kompeten dalam berniaga, dia punya banyak harta. Dia datang dan bernegosiasi dengan pemilik sumur, lalu membelinya seharga 35 ribu dirham.”

“Itu banyak ya, Bah?”

“Sangat banyak! Kalau dikonversi ke uang sekarang, kira-kira sekitar 20 miliar rupiah lebih. Bisa beli banyak rumah uang segitu!”

Mata Dara membulat. “Wah, banyak banget!”

“Iya, dan Utsman mewakafkan sumur itu, artinya menggratiskan airnya untuk kepentingan umum. Jadi semua orang Muslim di Madinah bisa memanfaatkannya cuma-cuma.”

“Wah, baik banget ya Utsman bin Affan,” komentar Dara.

“Itu belum semuanya. Utsman juga menjadi donatur terbesar untuk Perang Tabuk. Itu adalah ekspedisi militer yang dipimpin Rasulullah sendiri untuk menghadapi pasukan Romawi di perbatasan utara, dalam situasi sulit dengan jarak tempuh yang jauh dan cuaca yang sangat panas. Saat itu Rasulullah menggalang sumbangan membiayai pasukan karena situasinya sulit. Tahu apa yang dilakukan Utsman?”

“Apa, Bah?”

“Dia datang dengan sekantung penuh koin emas dan menuangkannya di hadapan Rasulullah! Begitu banyaknya sampai membentuk tumpukan besar.”

“Wah!”

“Rasulullah sampai bersabda, ‘Demi Allah, tidak akan membahayakan Utsman apa pun yang dia lakukan setelah hari ini.’ Artinya, Utsman mendapat jaminan surga karena kedermawanannya yang luar biasa.”

Dara terdiam, mencerna cerita Abah.

“Ada lagi, Dara. Utsman juga membeli dan mewakafkan tanah untuk perluasan Masjid Nabawi. Tanah yang dibelinya itu sekarang menjadi bagian dari Raudhah, area khusus di masjid Nabawi yang sangat istimewa.”

“Raudhah itu apa, Bah?”

“Raudhah itu area di Masjid Nabawi antara rumah dan mimbar Rasulullah. Beliau menyebutnya ‘taman dari taman-taman surga.’ Jadi milyaran orang yang beribadah di sana, dari zaman dulu sampai sekarang dan seterusnya, pahalanya juga mengalir kepada Utsman.”

“Jadi Utsman masih dapat pahala terus sampai sekarang, Bah?”

“Betul sekali! Itu namanya amal jariyah, pahala yang terus mengalir meski orangnya sudah meninggal. Hebat, kan?”

Dara mengangguk antusias. “Hebat banget, Bah!”

Mobil mulai bergerak kembali saat sudah melewati pintu tol. Abah melanjutkan ceritanya.

“Nah, semua itu bisa dilakukan Utsman karena dia punya kompetensi dalam berniaga. Dia memaksimalkan kemampuannya, menjadi ahli di bidangnya. Hasilnya bisa dipakai untuk membantu banyak orang.”

“Jadi aku harus punya kompetensi juga ya, Bah?” tanya Dara.

“Betul, Sayang. Dara mau jadi apa pun boleh. Mau jadi dokter, ahli kimia, ustadzah, atau apa saja. Yang penting jadilah orang yang kompeten, sungguh-sungguh menguasai ilmunya.”

“Terus kalau sudah kompetensi gmana Bah?”

Abah tersenyum. “Nah, keahlian itu dipakai untuk memberikan manfaat kepada banyak orang, seperti yang dilakukan Utsman bin Affan.”

“Jadi kalau aku jadi ahli kimia, Dara bisa bikin parfum yang wangi seperti Pak Hasan, nanti bisa disedekahkan gitu ya Bah?”

“Betul sekali! Itulah inti dari memiliki kompetensi. Agar kita bisa beramal lebih baik lagi.”

Dara tersenyum lebar, kembali memandangi botol parfum di tangannya. Dalam benaknya, dia mulai membayangkan jadi ahli kimia yang bisa membuat parfum harum dan dipakai jutaan orang. Lalu nanti parfumnya dibagikan ke semua mesjid secara gratis.

“Bah,” panggil Dara lembut. “Jadi kompetensi itu kayak parfum ya?”

Abah menoleh sejenak. “Maksudnya?”

“Parfum ini wanginya tidak untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang-orang di sekitarnya,” kata Dara.

Abah tersenyum. Putri kecilnya tumbuh lebih bijak dari yang ia bayangkan.

Leave a Comment