Ada hal yang masih sangat membekas di benak saya biarpun sudah berlalu 2 tahun lebih, saat ikut program akselerasi bisnis di kantor Google Mountain View. Tentang bagaimana mereka mengelola timnya.
Salah satu yang menarik, biarpun ini bukanlah satu-satunya di dunia, adalah semua Googlers (sebutan untuk para karyawan Google), tahu purpose dan corporate culture dari Google.
Jika kita berjalan di kantor Google, lalu sembarang menanyakan misi Google kepada salah satu orang Googlers secara acak, “saya bisa menjamin semuanya tahu mission statement Google”, kata salah seorang manajer People Support nya Google.
Bukan hanya tahu, setiap leader di Google dituntut untuk memastikan pekerjaan yang timnya lakukan selalu align dengan misi Google. Dalam buku Work Rules, karya Lazlo Bock dicantumkan sebuah survey internal Google tentang relevansi pekerjaan sehari hari Googlers dengan misi perusahaan. Hasilnya hampir 90% Googlers menjawab pekerjaan harian mereka align dengan misi perusahaan.
Mengapa mengetahui kemana kita menuju dan mensinkronkan dengan aktivitas harian kita penting? Menurut saya karena hal itu bisa jadi gambaran seberapa kuat tim kita. Dan tim kuat adalah kunci kekuatan kemenangan.
Sejarah masa kejayaan Islam juga memberikan pelajaran soal hal ini. Salah satu yang terekam kisah masyurnya adalah saat umat Islam mampu menaklukkan bangsa Persia di Qadisiyyah. Persia adalah salah satu peradaban terbesar saat itu, selain Romawi.
Sebanyak 200 ribu lebih pasukan Persia bisa dikalahkan oleh hanya 30 ribu lebih pasukan Muslimin.
Salah satu kuncinya adalah kekuatan kesatuan hati pasukan Muslimin.
Sebelum perang dimulai, ada diplomasi antara Saad bin Abi Waqqash, pimpinan pasukan Muslim di perang tersebut, dengan Rustum panglima tertinggi Persia yang terkenal sangat ahli strategi perang. Ditanya oleh Rustum, “Apa tujuan kalian datang ke sini?”
Dijawab oleh Saad bin Abi Waqqash: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan manusia kepada makhluk menuju penghambaan kepada Allah SWT saja. Membebaskan manusia dari kedzaliman menuju keadilan Islam. Membebaskan manusia dari sempitnya dunia, menuju luasnya akhirat.”
Waktu berlanjut, Rustum sengaja mengulur waktu untuk memulai menyerang pasukan Muslimin karena ia ingin melihat seberapa serius dan semangat kaum Muslimin tuk menyerang Persia. Total hingga 4 bulan lamanya belum juga perang fisik dimulai. Pasukan Muslimin juga tidak menyerang lebih dulu karena telah diamanahkan Umar bin Khattab, khalifah saat itu, untuk tidak menyerang sebelum musuh mulai menyerang.
Selanjutnya diundanglah delegasi Kaum Muslimin berikutnya, level yang lebih bawah dibanding Saad, yaitu Mughirah bin Syu’bah. Ketika ditanya oleh Rustum, jawabannya masih sama.
Hingga pasukan yang paling kroco ketika dipanggil dan ditanya jawabannya masih saja sama. Saat diundang Rustum ke tendanya yang sangat mewah dan megah, Rib’i bin Amir, seorang prajurit level bawah, seorang dari suku Badui, pakaiannya compang camping hingga banyak dihina para prajurit Persia, menjadi perwakilan Muslim tuk berdialog lagi dengan Rustum. Hasilnya, Ia juga menjawab hal yang persis sama dengan perwakilan Muslim yang lainnya ketika ditanya Rustum.
Saat itulah Rustum tahu, tidak akan mudah mengalahkan pasukan seperti ini. Mereka yang tujuan dari level tertinggi hingga terendahnya semua sama, tak ada sama sekali beda niatan-niatan di hati mereka.
Pasukan Muslimin saat itu memang bukanlah pasukan terlatih dan profesional, mereka adalah kumpulan perwakilan kabilah-kabilah Arab yang ikut serta berperang dengan niat jihad. Tidak seperti pasukan Persia yang memang adalah tugas mereka sebagai prajurit terlatih dan profesional yang digaji untuk ikut berperang.
Singkat cerita pasukan Muslimin dengan ijin Allah menang dan menguasai wilayah kerajaan Persia. Mereka membuktikan kebenaran perkataan Rasulullah SAW saat memecahkan batu besar tuk menggali parit perang Khandaq. Bahwa umat Islam akan sampai dan menaklukkan Istana Kisra, pusat kekuasaan kekaisaran Persia suatu saat nanti.
Kesatuan tujuan, terlebih kesatuan hati, bukan hal remeh yang hanya berguna sebagai simbol saja. Ia bisa bekerja dengan sangat dasyat tuk menguatkan kita yang tadinya tercerai besar hingga punya semangat dan langkah yang terarah satu dan lebih kuat.
Ia memang harus diulang-ulang hingga semua anggota tim paham dan terinternalisasi. Namun saya sendiri kadang khawatir akan membosankan ketika membicarakan soal visi dan tujuan bersama. Hampir tiap pekan kami punya forum bersama tuk merefresh kembali mengapa perjuangan yang tidak sebentar ini ada.
Kadang memang benar terasa bosan dan hambar, tapi saya sadari kebosanan dan kehambaran hanya akan muncul ketika kita tidak benar-benar menjiwai tujuan kita. Kalau saat iman tinggi, semangat tinggi, dan tiap harinya secara utuh jujur kita menjiwai visi dan tujuan kita, maka akan tersampaikan semakin kuat, biarpun redaksinya sama. Tidak ada kebosanan dan kehambaran.
Ada PR di sisi saya, kita semua, bukan hanya soal kemampuan mengulang dan mengulang lagi kenapa kita berjuang, tapi soal kemampuan menghidupi dengan utuh dan jujur alasan ini di keseharian langkah kita. Apa yang jujur di hati dan terekspresikan dengan tindakan tulus, jauh lebih menguatkan kata dan interaksi dibanding retorika tanpa penjiwaan.