Aslan merapatkan sajadahnya ke dinding masjid. Malam ke-27 Ramadan, masjid di tengah kota itu dipenuhi jamaah yang melakukan i’tikaf pada malam-malam ganjil. Namun pada pukul dua dini hari ini, sebagian besar mutakifin sudah terlelap. Beberapa tertidur pulas di atas sajadah mereka, beberapa lainnya bergelung dalam sleeping bag di sudut-sudut masjid.
Bangunan masjid itu tidak besar, tapi penuh makna bagi Aslan. Inilah tempat i’tikafnya sejak tahun pertama di kampus. Saat momen itikaf, lantai satu difungsikan sebagai tempat ibadah, lantai dua masjid dipenuhi kasur angin dan barang-barang para mutakifin yang memutuskan bermukim selama full 10 hari terakhir Ramadan. Meskipun berada di tengah hiruk pikuk kota, suasana dan nuansa keislaman sangat kental terasa di sana.
Aslan menggumamkan zikir pelan sambil membolak-balik mushaf di pangkuannya. Matanya terasa berat, tapi hatinya masih ingin terjaga. Perhatiannya teralih pada seorang pria paruh baya di sudut masjid. Wajahnya keras dengan bekas luka samar di alisnya. Pria itu sedang khusyuk membaca Al-Quran, bibirnya bergerak-gerak menghayati setiap ayat.
Aslan terpana melihat ketekununannya. Sejak kajian malam usai sekitar pukul sepuluh tadi, pria itu tidak berhenti beribadah—entah mengaji, shalat sunnah, atau berzikir. Sekarang sudah hampir pukul dua dini hari, tapi lelaki itu masih saja khusyuk, tanpa menunjukkan tanda-tanda kantuk atau lelah.
Awalnya, Aslan merasa tidak nyaman. Ada sesuatu dari aura pria itu yang berbeda—bukan aura seorang jamaah yang biasa ia temui di masjid ini. Tapi ia segera beristighfar dalam hati, mengenyahkan prasangka buruknya.
Beberapa saat kemudian, Aslan bangkit untuk mengambil air wudhu. Tepat saat ia selesai membasuh kaki, pria paruh baya itu masuk ke area wudhu. Mata mereka bertemu sekilas.
“Assalamualaikum,” sapa Aslan pelan.
“Waalaikumsalam,” jawab pria itu dengan suara serak namun ramah.
Aslan hendak berbalik, tapi entah mengapa kakinya terasa berat untuk melangkah. Ia merasa ada sesuatu yang menahannya di sana.
“Bapak nggak istirahat dari tadi?” tanya Aslan membuka percakapan.
Pria itu tersenyum tipis. “Malam-malam ganjil, sayang kalau dilewatkan untuk tidur.”
“Bapak i’tikaf juga di sini?” tanya Aslan lagi.
“Iya, Dek. Sudah seminggu ini,” jawabnya sambil melanjutkan wudhu.
“Kalau saya baru mulai malam ini pak,” kata Aslan. “Sebelumnya saya di mesjid kampus.”
Pria itu mengangguk paham. Tangannya yang kasar dan penuh bekas luka bergerak lembut menyeka rambutnya yang mulai memutih. “Rencana mau i’tikaf sampai kapan?”
“Rencananya sampai hari terakhir pak” jawab Aslan. “Saya Aslan,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Dimas,” balas pria itu, menyambut uluran tangan Aslan dengan genggaman yang kuat namun hangat.
Keduanya kemudian kembali ke dalam masjid. Alih-alih kembali ke sajadahnya, entah mengapa Aslan memilih untuk duduk di dekat Pak Dimas. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya penasaran—ketekunannya beribadah sejak tadi, dan aura ketenangan yang anehnya kini terasa dari sosoknya.
“Bapak rajin banget ibadahnya,” ujar Aslan pelan, memecah keheningan. “Dari habis kajian tadi nggak istirahat sama sekali.”
Pak Dimas tersenyum tipis. “Saya mencoba memanfaatkan setiap waktu, Dek. Sudah terlalu banyak waktu yang saya sia-siakan dulu.”
“Maksud Bapak?” tanya Aslan penasaran.
Pak Dimas menatap Aslan dengan tatapan yang dalam, seolah menimbang apakah ia harus bercerita atau tidak. Akhirnya ia menghela napas panjang.
“Saya pernah dipenjara, Dek. Lima tahun.”
Aslan terkesiap. Tidak menyangka akan mendapat jawaban sejujur itu. Ada sedikit rasa was-was yang muncul di hatinya, tapi ia berusaha menepisnya.
“Kalau boleh tahu… karena apa, Pak?” tanya Aslan hati-hati.
“Pembunuhan,” jawab Pak Dimas datar. Matanya menerawang. “Perkelahian mabuk yang bikin nyawa orang lain melayang.”
Aslan menelan ludah. Tidak tahu harus merespons apa. Dalam benaknya muncul pertanyaan: orang seburuk itu, apa bisa benar-benar berubah? Tapi melihat kesungguhan Pak Dimas beribadah sepanjang malam, ia mulai merasa bingung dengan prasangkanya sendiri.
“Dulu saya sering mabuk, Dek. Marah sama kehidupan. Merasa dunia nggak adil,” lanjut Pak Dimas. “Tapi Alhamdulillah, Allah masih kasih saya kesempatan. Di penjara saya mulai belajar agama, mulai shalat, mengaji.”
Aslan terdiam.
Pak Dimas melanjutkan. “Awalnya saya nggak yakin Allah mau nerima orang kayak saya,” ucapnya pelan. “Di penjara, saya sempat sangat membenci diri sendiri, Dek. Saya merasa nggak ada harapan. Sampai suatu malam di Ramadan empat tahun lalu, ada ustadz yang datang ke lapas.”
“Apa yang mengubah Bapak?” tanya Aslan penasaran, terpesona dengan perubahan besar yang terjadi pada pria di hadapannya.
“Ustadz itu cerita tentang seorang sahabat Nabi. Namanya Hasan bin Tsabit,” jawab Pak Dimas. “Pernah denger?”
Aslan menggeleng pelan.
“Hasan bin Tsabit itu sahabat Nabi yang istimewa,” Pak Dimas mulai bercerita. “Dia adalah penyair terhebat di kalangan sahabat. Bahkan disebut sebagai pemimpin para penyair beriman di seluruh dunia. Nabi Muhammad sendiri menyebutnya sebagai penyair Rasulullah.”
“Wah, hebat dong,” komentar Aslan.
“Ya, hebat banget. Bahkan malaikat Jibril turun untuk membantunya menulis syair,” lanjut Pak Dimas dengan mata berbinar. “Tapi tahu nggak? Ternyata Hasan bin Tsabit juga pernah melakukan dosa besar.”
“Dosa besar?” Aslan mengerutkan kening.
Pak Dimas mengangguk. “Dia terlibat dalam penyebaran fitnah terhadap Aisyah, istri Nabi. Fitnah yang sangat berat sampai Allah menurunkan ayat untuk membersihkan nama Aisyah,” jelas Pak Dimas.
“Fitnah seperti apa, Pak?” tanya Aslan ingin tahu.
“Jadi ceritanya, saat itu Aisyah ikut dalam salah satu perjalanan dengan Nabi dan rombongan. Dalam perjalanan pulang, Aisyah tertinggal rombongan karena mencari kalungnya yang hilang. Ia kemudian ditemukan oleh seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’attal yang mengantar Aisyah kembali ke Madinah. Nah, kejadian ini dijadikan bahan fitnah oleh para munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay. Mereka menyebarkan gosip tidak benar bahwa Aisyah berselingkuh. Fitnah ini menyebar ke beberapa sahabat, termasuk Hasan bin Tsabit yang turut menyebarkan berita bohong itu.”
Aslan mengangguk perlahan, mencoba mencerna cerita itu. “Saya pernah dengar sekilas tentang fitnah terhadap Aisyah, tapi nggak tahu kalau Hasan bin Tsabit juga terlibat.”
“Iya, bayangkan saja, Aisyah sangat terpukul, Nabi pun sedih, dan umat Islam terpecah selama sebulan karena gosip ini,” lanjut Pak Dimas. “Sampai akhirnya Allah menurunkan ayat dalam Surah An-Nur yang menyatakan kesucian Aisyah. Saat itulah Hasan bin Tsabit dan beberapa sahabat lain yang ikut menyebarkan berita bohong itu dihukum cambuk di depan umum. Coba bayangin, sahabat Nabi dicambuk karena fitnah yang dia sebarkan.”
Aslan terdiam, mencoba mencerna cerita Pak Dimas.
“Tapi yang lebih mengejutkan adalah setelah itu,” kata Pak Dimas. “Setelah dihukum, Hasan bin Tsabit nggak putus asa. Dia nggak larut dalam penyesalan sampai berhenti berkarya. Dia tetap menjalankan perannya sebagai penyair, bahkan semakin giat membuat syair-syair untuk membela Islam dan Nabi Muhammad.”
“Aisyah sendiri gimana, Pak? Apa dia memaafkan Hasan bin Tsabit?” tanya Aslan.
“Itulah yang bikin saya terharu, Dek,” jawab Pak Dimas. “Aisyah memaafkannya. Bahkan ketika ada yang menghina Hasan bin Tsabit di depan Aisyah, Aisyah malah membelanya. Kata Aisyah, ‘Jangan menghina dia, karena dia telah membela Rasulullah dengan syair-syairnya.'”
Suara Pak Dimas mulai bergertar. “Bahkan ketika Hasan bin Tsabit sudah tua dan buta, Aisyah tetap menghormatinya. Dia pernah bilang, ‘Aku berharap Allah akan mengampuninya.'”
Aslan tersentuh mendengar cerita itu. Ia mulai memahami mengapa cerita ini begitu berarti bagi Pak Dimas.
“Yang paling berkesan buat saya adalah pelajaran bahwa masa lalu kita tidak menentukan siapa kita di masa depan,” lanjut Pak Dimas. “Hasan bin Tsabit pernah jatuh, tapi dia bangkit dan tetap berkarya dengan keahlian yang dia miliki. Dia nggak biarkan kesalahannya di masa lalu menghalangi kebaikannya di masa depan.”
Aslan mendengarkan dengan hening. Ia menyadari bahwa selama ini ia berpikir bahwa orang baik itu hanya yang “tidak pernah salah”. Ia lupa bahwa Allah tidak hanya melihat siapa kita hari ini, tapi ke mana arah langkah kita.
“Pak Dimas,” panggil Aslan pelan, “saya rasa cerita Hasan bin Tsabit itu juga pelajaran buat saya.”
“Maksudnya?” tanya Pak Dimas.
“Tadi pas dengar Bapak pernah masuk penjara, saya… sempet berprasangka,” aku Aslan jujur. “Saya mikir, apa orang kayak Bapak bisa bener-bener berubah? Apa Allah bakal nerima orang yang pernah ngebunuh?”
Pak Dimas tersenyum maklum. “Wajar kok, Dek.”
“Tapi sekarang saya sadar,” lanjut Aslan, “kalau dosa-dosa kita nggak pernah lebih besar dari rahmat Allah. Kita semua punya kesempatan kedua.”
Suara pengumuman dari pengeras suara masjid memecah keheningan. “Para jamaah yang dirahmati Allah, mari kita bersiap untuk melaksanakan shalat tahajud berjamaah. Waktu menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Shalat tahajud akan dimulai lima belas menit lagi.”
Para mutakifin yang tertidur mulai terbangun satu per satu. Ada yang langsung bergegas ke tempat wudhu, ada pula yang masih mengumpulkan nyawa dengan duduk diam sejenak.
Pak Dimas dan Aslan berpandangan.
“Alhamdulillah, berkah malam ganjil ya, Pak,” kata Aslan. “Bisa tahajud berjamaah.”
“Iya, Dek,” jawab Pak Dimas sambil tersenyum. “Semoga Allah menerima ibadah kita semua.”
“Makasih ya, Pak, udah mau berbagi cerita dengan saya,” ucap Aslan tulus.
“Sama-sama, Dek,” balas Pak Dimas.
Mereka berdua kemudian bersiap untuk shalat tahajud berjamaah. Saat sujud, Aslan menangis dalam diam. Ia sadar, mungkin bukan Pak Dimas yang paling berdosa. Tapi dirinya yang merasa “lebih baik” lah yang lupa siapa sebenarnya yang punya hak menilai.
Usai shalat tahajud berjamaah, Pak Dimas dan Aslan kembali ke tempat mereka di masjid. Beberapa jamaah memilih untuk beristirahat sejenak, menunggu waktu sahur tiba. Namun keduanya masih ingin melanjutkan ibadah di malam yang penuh berkah ini.
Keduanya tenggelam dalam ibadah masing-masing. Dalam hatinya, Aslan bersyukur atas pertemuan yang bermakna itu. Pertemuan yang mengingatkannya bahwa kebaikan bukanlah tentang tidak pernah jatuh, tapi tentang selalu bangkit dan mencoba menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Masa lalu kita tidak menentukan siapa kita di masa depan