Alunan live music riuh memenuhi rumah makan. Dara duduk gelisah, sesekali menyeruput es jeruk di hadapannya. Perutnya sudah berbunyi sejak tadi, tapi pesanan keluarganya belum juga datang.
“Abah, masih lama ya makanannya?” tanya Dara sambil menarik-narik ujung baju Abahnya.
Abah tersenyum. “Sabar, Ra. Namanya juga rumah makan ramai.”
Mata Dara berkeliling, mencari pengalih perhatian. Pandangannya tertumbuk pada sebuah banner kecil di tengah meja makan. Tulisannya berwarna-warni dengan gambar es krim yang menggoda.
“Berikan review di Google Maps, dapatkan es krim GRATIS!” Dara membaca dengan keras.
Mata Dara langsung berbinar. Ia menatap Abahnya penuh harap.
“Abah, lihat! Kita bisa dapat es krim gratis kalau kasih review!” serunya bersemangat.
Abah mengambil banner itu dan membacanya sekilas. “Oh iya, boleh juga.”
“Abah mau kasih review kan? Mau ya, Abah? Dara mau es krim vanila!” Dara merajuk, menarik-narik lengan baju Abahnya.
Ibu yang sedang menenangkan adik Dara tersenyum geli melihat tingkah putri sulungnya.
Abah mengangguk. “Boleh. Tapi ada syaratnya.”
Dara langsung sumringah. “Apa syaratnya, Bah?”
“Pertama, Dara harus konfirmasi dulu ke staffnya tentang program ini. Kedua, Dara yang harus bikin reviewnya sendiri. Jujur sesuai apa yang Dara rasakan tentang makanan dan pelayanan di sini.”
Senyum Dara langsung pudar. “Tapi… Dara nggak berani tanya sendiri, Bah.”
“Kenapa tidak berani?” tanya Abah lembut.
Dara menunduk. “Malu… Takut juga. Nanti kalau staffnya jutek gimana? Atau malah marah?”
“Memangnya staff di sini kelihatan galak?” Abah bertanya sambil menunjuk beberapa pelayan yang sibuk melayani dengan senyum ramah.
“Nggak sih…” Dara masih ragu. “Tapi, Abah temani ya?”
Abah menggeleng pelan. “Justru Abah ingin Dara belajar berani bicara dengan orang dewasa. Ini kesempatan bagus untuk latihan.”
“Tapi Dara takut, Bah…” rengek Dara.
Abah tersenyum. Ia melihat kesempatan baik untuk mengajarkan sesuatu pada putrinya.
“Dara tahu tidak, dalam sejarah Islam ada seorang perempuan hebat yang sangat berani. Namanya Shafiyah bint Abdul Muthallib.”
“Siapa itu, Bah?” Dara bertanya, rasa penasarannya terusik.
“Beliau adalah bibi Nabi Muhammad SAW, saudara perempuan ayahnya Rasul,” jawab Abah.
Dara langsung menegakkan duduknya, tertarik. “Ceritakan, Bah!”
“Jadi, saat Perang Khandaq atau Perang Parit, Nabi Muhammad dan kaum Muslim sedang menggali parit besar di sekitar Madinah untuk melindungi kota dari serangan 10.000 pasukan musuh.”
“Parit yang besar sekali, Bah?” mata Dara membulat.
“Iya, sangat besar supaya tidak bisa dilewati lompatan kuda dan juga sangaat panjang. Mereka menggali siang-malam selama dua minggu. Selama perang itu, para wanita, anak-anak, dan orang tua ditempatkan di benteng-benteng untuk perlindungan.”
Dara mengangguk-angguk, mulai terbawa cerita.
“Tapi ada suku Yahudi yang tinggal di Madinah bernama Bani Quraizhah yang berkhianat ingin menyerang pasukan Muslim dari dalam kota. Mereka mengirim mata-mata ke benteng tempat para wanita dan anak-anak berlindung.”
“Mata-mata itu mau ngapain, Bah?” tanya Dara penasaran.
“Mata-mata itu ingin melihat apakah benteng itu tidak dijaga. Kalau benar tidak ada penjagaan, mereka akan menyerang saat para laki-laki Muslim sedang berperang di garis depan.”
Dara menelan ludah. “Terus apa yang terjadi?”
“Shafiyah melihat mata-mata itu. Dia tahu bahaya sedang mengancam. Tapi tidak ada pria Muslim di sana yang bisa melindungi mereka.”
“Lalu Shafiyah ngapain, Bah?” Dara semakin antusias.
“Dengan keberanian luar biasa, Shafiyah mengambil inisiatif. Beliau seorang diri memanjat dinding benteng, mencegat mata-mata itu, dan berhasil melumpuhkannya dengan pisau.”
“Wah, hebat!” seru Dara kagum.
“Setelah itu, Shafiyah melempar jasad mata-mata itu keluar benteng, sebagai peringatan bagi musuh di luar. Melihat itu, pasukan Bani Quraizhah mengira benteng dijaga ketat oleh pasukan bersenjata. Mereka pun mundur dan mengurungkan niat untuk menyerang.”
Dara terdiam, mencerna cerita Abahnya.
“Tahu tidak hikmah dari cerita ini?” tanya Abah.
Dara menggeleng pelan.
“Terkadang, ketakutan dalam diri kita lebih besar dari apa yang sebenarnya terjadi. Shafiyah bisa saja takut dan hanya bersembunyi. Tapi beliau memilih berani dan mengatasi ketakutannya. Hasilnya, beliau menyelamatkan banyak nyawa.”
Dara mengangguk pelan. “Tapi itu kan perang, Bah. Ini cuma mau tanya ke staff rumah makan.”
Abah tersenyum lembut. “Prinsipnya sama, sayang. Kalau kita tidak mencoba menghadapi ketakutan kita, kita tidak akan pernah tahu bahwa sebenarnya itu tidak seseram yang kita bayangkan.”
Dara termenung. Ia melirik ke arah kasir tempat beberapa staff rumah makan berdiri.
“Jadi, Dara mau coba?” tanya Abah dengan suara lembut.
Dara menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, Bah. Dara akan coba.”
Dengan langkah kecil dan jantung berdebar, Dara mendekati meja kasir. Seorang staff perempuan tersenyum melihatnya.
“Ada yang bisa dibantu, Dik?” tanya staff itu ramah.
“Um…” Dara meremas ujung bajunya. “Di meja ada banner tentang es krim gratis kalau kasih review. Itu beneran ya, Kak?”
Staff itu tersenyum lebar. “Benar sekali. Adik tinggal kasih review di Google Maps, lalu tunjukkan ke kakak. Nanti adik bisa pilih es krim yang disukai.”
“Oh, gitu…” Dara tersenyum lega. “Makasih ya, Kak!”
Dara berlari kecil kembali ke mejanya, wajahnya berseri-seri.
“Abah! Abah! Ternyata kakak staffnya baik banget!” serunya antusias. “Dara cuma perlu kasih review, terus tunjukin ke mereka, nanti bisa pilih es krim!”
Abah tersenyum bangga. “Tuh kan, tidak seseram yang Dara bayangkan, kan?”
Dara mengangguk. “Iya, Bah. Dara kira bakalan dibentak atau diketawain.”
“Nah, sekarang Dara mengerti kan? Kadang ketakutan kita lebih besar dari kenyataannya.”
Pesanan mereka akhirnya datang. Setelah makan, Dara dengan bersemangat membuat review jujur tentang rumah makan itu di ponsel Abahnya. Ia menulis tentang suasana rumah makan yang seru karena ada mainan anak-anak dan pelayannya ramah.
“Sudah, Bah!” Dara menunjukkan reviewnya pada Abah.
“Bagus sekali. Sekarang tunjukkan ke staff tadi.”
Kali ini tanpa ragu, Dara kembali ke meja kasir. Ia menunjukkan review yang telah ia buat. Staff itu tersenyum dan memberikan sebuah es krim vanila yang tampak sangat menggoda.
“Ini es krimnya, Dik. Terima kasih atas reviewnya ya!”
Dara kembali ke meja dengan wajah berseri-seri, memegang es krim vanila kesukaannya.
“Abah, Dara berhasil!” serunya girang.
Dara menjilat es krimnya dengan penuh kenikmatan. “Es krim ini rasanya lebih enak, Bah.”
“Kenapa bisa lebih enak?” tanya Abah penasaran.
Dara tersenyum lebar. “Karena ini es krim keberanian! Dara dapat es krim ini karena berani mengalahkan takut.”
Abah tertawa kecil. “Betul sekali. Ingat ya, Ra, keberanian bukan berarti tidak merasa takut. Keberanian adalah tetap melangkah meski merasa takut.”
Dara mengangguk mantap. “Dara ngerti, Bah. Insya Allah Dara akan coba jadi lebih berani.”
“Alhamdulillah,” bisik Abah, menatap putrinya yang kini dengan percaya diri menikmati es krim hasil keberaniannya sendiri.