Amarah yang Hampir Menang

Layar laptop Aslan menyala terang, jarinya mengetik cepat dengan wajah memerah. Di sampingnya, Iyaz duduk dengan wajah bingung melihat sahabatnya yang biasanya kalem kini seperti gunung berapi siap meletus.

“Nggak nyangka banget Adam bakal kayak gini. Gue udah percaya sama dia, eh ternyata dia yang nyebarin fitnah,” geram Aslan sambil terus mengetik klarifikasi di media sosialnya.

“Lo yakin mau ngepost ini?” tanya Iyaz ragu.

“Yakin banget. Biar semua orang tau siapa yang sebenarnya nyolong ide siapa,” jawab Aslan tegas.

Rayyan yang baru datang ke kantin langsung mengambil kursi di sebelah mereka. “Wah, tumben kalian serius banget. Lagi ngapain nih?”

“Ini si Aslan mau ngepost balasan buat Adam,” Iyaz menunjuk layar laptop Aslan.

Rayyan mengerutkan dahi, “Boleh tau masalahnya?”

Aslan menghela napas panjang. “Jadi gini, kemarin ada lomba ide bisnis di kampus. Gue sama Adam ikutan, tapi beda tim. Karena gue sibuk organisasi, gue ngerjain proposal menjelang deadline. Gue sempet diskusi santai sama Adam soal ide asisten belajar AI. Menurut gue itu ide umum yang siapa aja bisa kembangkan.”

“Terus?” Rayyan mendengarkan dengan serius.

“Yang bikin masalah, gue lolos final dengan pujian dari juri. Adam nggak lolos, padahal idenya mirip. Eh, tau-tau dia nyebarin ke temen-temen kalau gue nyolong idenya.” Aslan mengacak-acak rambutnya frustasi. “Reputasi gue bisa hancur gara-gara fitnah dia.”

Iyaz mengangguk. “Aslan ngerasa difitnah. Harusnya Adam ngomong dulu sama dia, bukannya langsung nyebar ke orang lain.”

Rayyan memperhatikan layar laptop. Draft postingan Aslan dipenuhi kalimat emosional, menyebut kesalahan Adam dan membela diri dengan nada tinggi.

“Aslan, lo yakin ini cara terbaik?” tanya Rayyan pelan.

“Terus gue harus gimana? Diam aja sementara nama gue difitnah?” balas Aslan dengan suara bergetar.

Rayyan menyesap kopinya perlahan. “Gue jadi inget kisah sahabat Nabi. Abdullah bin Zubair dan Muawiyah.”

Aslan dan Iyaz saling pandang, kemudian menatap Rayyan penasaran.

“Abdullah bin Zubair itu sahabat senior yang dihormati terkenal sebagai ahli ibadah yang mulia. Sedangkan Muawiyah udah jadi khalifah saat itu biarpun ada sebagian umat Islam belum memberikan pengakuan padanya. Mereka punya tanah bersebelahan di Madinah,” Rayyan memulai ceritanya.

“Suatu hari, pekerja Muawiyah masuk ke tanah Abdullah bin Zubair, merusak tanaman dan memperlakukan pelayan Abdullah dengan buruk. Abdullah marah besar. Dia kirim surat keras ke Muawiyah di Damaskus.”

“Emang isinya gimana?” tanya Iyaz penasaran.

“Dia nulis begini: ‘Dari Abdullah bin Zubair, putra Hawari Rasulullah dan Asma binti Abu Bakar, kepada Mu’awiyah bin Hind. Para pekerjamu telah melanggar batas tanahku. Jika engkau tidak menghentikan mereka, maka aku sendiri yang akan bertindak langsung terhadapmu.'” Rayyan menjelaskan. “Nada suratnya tegas banget kan? Abdullah bahkan nyebutin silsilah keluarganya yang terhormat tapi cuma nyebut Muawiyah sebagai ‘bin Hind’, padahal Muawiyah itu khalifah saat itu.”

“Tunggu, kenapa nyebut ‘bin Hind’ itu jadi masalah?” tanya Iyaz bingung.

“Itu sebenernya bentuk hinaan halus,” jawab Rayyan. “Hind itu ibu Muawiyah, yang punya sejarah kelam sebelum masuk Islam. Pas Perang Uhud dulu, setelah Hamzah syahid, Hind menganiaya jenazahnya. Dia memotong hidung dan telinga Hamzah, bahkan konon mencoba memakan hatinya sebagai balas dendam karena keluarganya terbunuh di Perang Badar sebelumnya.”

“Ya Allah…” Iyaz bergidik.

“Jadi dengan menyebut ‘Muawiyah bin Hind’, Abdullah seolah mengingatkan Muawiyah tentang masa lalu ibunya yang kelam itu, bukan sebagai khalifah yang terhormat.” lanjut Rayyan.

“Muawiyah baca surat itu bareng anaknya, Yazid. Tau apa saran Yazid? Dia bilang, ‘Kirim pasukan dari sini, bawa kepalanya Abdullah bin Zubair yang udah dipenggal ke sini.'”

“Serius?” Aslan mengernyitkan dahi, mulai tertarik.

Rayyan mengangguk. “Tapi Muawiyah nggak ikutin saran anaknya. Dia justru balas dengan surat super lembut.”

“Kenapa dia nggak marah balik aja? Dia kan punya kekuasaan,” tanya Aslan penasaran.

“Itu yang menarik,” Rayyan tersenyum. “Muawiyah tau ini kesempatan untuk ngajarin pelajaran penting ke anaknya, Yazid bin Muawiyah. Dia pengen nunjukin bahwa seorang pemimpin sejati bukan yang paling keras dan pemarah, tapi yang paling bisa mengendalikan emosinya.”

“Di kejadian itu, Muawiyah bilang sama Yazid: ‘Siapa yang bisa memaafkan, dialah yang bisa memimpin. Dan siapa yang mampu menahan amarahnya, dialah yang akan menang.’

“Powerful banget kata-katanya,” gumam Aslan.

“Yah biarpun Yazid kelak ketika menggantikan ayahnya ternyata perilakunya jauh berbeda dan gak menerapkan nasehat yang ayahnya ajarkan ini.” lanjut Rayyan.

“Trus Muawiyah jadi nulis balasan apa di suratnya?” tanya Aslan.

“Dia bilang, ‘Jika seluruh dunia bisa kujadikan hadiah untukmu agar membuatmu senang, aku akan melakukannya dengan senang hati. Ketahuilah bahwa tanahku kini adalah tanahmu, dan para pekerjaku kini adalah pekerjamu.'”

Aslan terdiam. Iyaz melongo tidak percaya.

“Setelah itu Abdullah bin Yazid langsung berubah sikap. Dia balas surat dengan penuh hormat, bahkan doa baik untuk Muawiyah,” tambah Rayyan.

Suasana hening sejenak. Aslan menatap layar laptopnya, kemudian ke tulisannya yang penuh amarah.

“Coba pikir, kalau lo post ini, lo mungkin merasa lega sesaat. Tapi masalahnya selesai nggak? Malah bisa jadi perang terbuka yang bikin semua pihak rugi,” Rayyan menjawab tenang.

Iyaz yang sedari tadi lebih banyak diam, kini ikut bicara. “Bener juga sih. Kenapa nggak coba ngajak Adam ketemu langsung aja? Clear-in masalahnya face to face.”

“Menurut gue juga gitu,” Rayyan mendukung. “Lebih baik ketemu langsung dan bicarain baik-baik. Daripada ribut di sosmed yang malah bikin masalah tambah runyam.”

Aslan menghela napas panjang. Perlahan, ia menggerakkan kursor ke arah draft postingannya kemudian menekan tombol delete. Seluruh tulisan yang penuh emosi itu kini hilang dari layar. “Kalian bener. Gue hampir aja bikin keputusan yang didasari emosi doang.”

“Nggak gampang sih nahan emosi kayak gitu. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin ini ujian buat lo supaya nyelesain masalah dengan dewasa” ucap Rayyan sambil menepuk pundak Aslan.

Aslan terdiam sejenak. Ia membuka aplikasi chat di ponselnya dan mulai mengetik pesan baru:

“Assalamualaikum Adam. Bisa kita ketemu besok? Gue traktir makan siang. Ada yang perlu kita obrolin baik-baik.”

Setelah menekan tombol kirim, Aslan tersenyum kecil. “Thanks ya, kalian berdua. Hampir aja gue bikin kesalahan besar.”

“Sama-sama,” Rayyan tersenyum.

Tak lama kemudian, ponsel Aslan berbunyi. Pesan dari Adam:

“Wa’alaikumsalam. Bisa, besok jam 1 di kantin fakultas? Makasih udah mau ngajak ngobrol.”

Aslan tersenyum lega, menunjukkan pesan itu pada kedua sahabatnya. “Alhamdulillah, dia mau ketemu.”

“Nah, gitu dong,” Iyaz mengangguk puas. “Selesaikan dengan baik-baik. Gue yakin kalian bisa clear-in masalahnya.”

“Thanks banget buat wejangan lo, Ray,” Aslan menoleh ke Rayyan. “Dan makasih juga buat lo, Yaz, udah nemenin gue dari tadi.”

Rayyan mengangkat gelasnya. “Itulah gunanya sahabat.”

Mungkin besok akan jadi hari yang berat bagi Aslan, tapi setidaknya ia tahu bahwa langkah yang diambilnya adalah langkah yang benar. Kadang, untuk bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang, seseorang harus menghadapi ujian dan belajar mengendalikan emosinya terlebih dahulu.

Bukan proses yang instan, tapi konsistensi dan keikhlasan yang membuat seseorang semakin dewasa dalam iman dan amal.

Leave a Comment