Trend Gig Economy di Ekosistem Startup Indonesia: A Blessing or a Curse?

Fenomena Gig economy saat ini bertumbuh dengan cepat di Indonesia. Gig economy adalah aktivitas di dunia kerja dimana para pelakunya memilih bekerja secara freelance, fleksibel, dan temporer tanpa ikatan permanen. Contohnya menjadi mitra driver Gojek, mitra delivery Shopee, driver Lalamove, atau freelancer di Sribu/Upwork/Fiverr.

Mekanisme ini tumbuh semakin subur didorong oleh perkembangan teknologi digital yang memungkinkan hadirnya berbagai macam platform yang menjadi tempat bertemunya kebutuhan konsumen dengan supply para pemberi jasa atau freelancer.

Gig economy memiliki banyak manfaat seperti penciptaan lapangan pekerjaan dan kontribusi pada ekonomi negara. Namun ia juga membawa PR yang harus diselesaikan seperti kejelasan status, eksploitasi pekerja, hingga jaminan atas pekerjaan.

Di artikel kali ini kita akan membahas mengenai hal ini dari kaca mata ekosistem startup di Indonesia.

Apa itu Gig Economy

Gig economy menjadi jenis pekerjaan yang berkembang dengan sangat pesat akhir-akhir ini. Jika dulu kita hanya tahu jenis pekerjaan adalah full-time dan part-time, saat ini makin banyak jenis pekerjaan freelance, dengan durasi temporer yang sangat singkat, atau pekerjaan dalam dunia sharing economy yang membentuk gig economy.

Di Indonesia sendiri konsep Gig economy tumbuh pesat seiring dengan berkembangnya startup on demand delivery atau on demand transportation seperti Gojek atau Grab. Gojek atau grab memakai bisnis model marketplace 2 sisi yang menjebatani antara supply dan demand menggunakan platform teknologi mereka.

Saat ini banyak sekali startup yang menggunakan konsep marketplace 2 sisi sebagai bisnis model. Mereka menciptakan aplikasi sebagai tempat terjadinya transaksi saat ada permintaan yang disepakati untuk dijalankan oleh penyedia jasa atau sumber daya.

Para pekerja dalam Gig Economy menyukai model ini karena lebih fleksibel dan nyaman. Mereka bisa mengatur sendiri waktu kerjanya sesuai preferensi masing-masing. Mereka tidak terikat oleh ikatan permanen atau komitmen jangka panjang. Work life balance juga lebih mudah diwujudkan dengan fleksibilitas ini.

Model seperti ini juga dengan sangat cepat menciptakan kesempatan kerja kepada banyak orang. Dalam kajian yang dilakukan oleh LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Group GOTO telah berkontribusi pada penciptaan kesempatan kerja pada 1,7 juta orang penduduk Indonesia pada 2022 dengan total nilai tambah Rp 349-428 triliun terhadap perekonomian nasional atau setara 1,8-2,2% PDB Indonesia tahun 2022.

Di sisi lain bagi startup penyedia platform, mereka juga bisa menghemat lebih banyak sumber daya dengan menggunakan model gig economy ini. Sebuah penelitian di US menyebutkan perusahaan yang menjalankan model gig economy dapat menghemat hingga 30% biaya tenaga kerja dibandingkan dengan merekrut karyawan secara tradisional.

Tapi di sisi lain, Gig Economy juga punya hal negatif lainnya seperti job security, job stability, eksploitasi pekerja, hingga kejelasan status legal pekerja yang harus menjadi perhatian bersama.

1. Job Security & Stability

Jika pekerja tetap full-time kita bisa dapat gaji tetap tiap bulan, maka pekerja gig economy punya tantangan soal stabilitas dan kepastian pendapatan maupun pekerjaan. Jika job sedang banyak maka kita bisa punya pendapatan lebih dari pendapatan karyawan kantoran. Tapi jika lagi sepi job maka jangan berharap kita bisa dapat pendapatan.

Tunjangan seperti THR ataupun bonus tahunan juga tentunya tidak dimiliki oleh pekerja di gig economy. Mereka mendapatkan hanya apa yang mereka usahakan.

Ini akan menjadi tantangan lebih berat ketika mereka memasuki usia senja atau tidak produktif lagi, apalagi jika manajemen dan perencanaan keuangan untuk persiapan masa pensiun pekerjanya tidak baik. Maka bisa jadi di usia senja kita masih terus harus mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Job Security & Job Stability di Masa Tua

2. Potensi Eksploitasi Pekerja

Sering kali bargaining power dari pekerja di gig economy tidak kuat karena sangat bergantung pada platform dan permintaan yang masuk. Ketika ada perubahan skema pembayaran atau mekanisme mendapatkan order, maka sering kali pekerja gig economy menjadi korban.

    Pekerja di gig economy di beberapa bidang juga tidak punya standar UMR yang diatur. Pendapatan pekerja bergantung banyak dan tipe dari pekerjaan yang mereka lakukan. Sumber daya untuk melakukan pekerjaan dalam pekerja gig economy juga berasal dari sumber daya milik pribadi, misalnya kendaraan, bahan bakar, listrik, laptop, dan lain-lain.

    Di beberapa area, persaingan antar para pekerja juga sangat tinggi. Misal di kota besar persaingan antar satu driver ojek online dengan driver lainnya semakin tinggi karena semakin banyaknya orang yang menjadi driver. Ini akan menyebabkan jumlah pesanan per driver berkurang yang menyebabkan pendapatan berkurang.

    3. Kejelasan status dan regulasi dari Pemerintah

    Gig economy adalah hal baru di Indonesia dan membutuhkan aturan main dari pemerintah yang berbeda juga. Hal ini menimbulkan tantangan jika pemerintah tidak segera bergerak cepat untuk mengimplementasikan aturan main dan regulasi yang sesuai dengan model ini.

      Beberapa isu seperti status hukum pekerja, aturan mengenai perlindungan pekerja, aturan pajak, asuransi atau tunjangan akan menjadi area yang bisa dieksploitasi pihak yang tidak bertanggung jawab jika pemerintah cenderung abai untuk memperhatikan dan menanggapinya segera.

      Di Indonesia untuk ojek online misalnya sudah ada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 yang mengatur tarif bawah. Di beberapa negara seperti Selandia dan Prancis bahkan mengatur bahwa para driver on demand transportation harus dijadikan sebagai pegawai alih-alih tenaga kontraktor. Namun masih banyak area lain dalam gig economy yang perlu diatur denga bijak dan diawasi untuk mencegah salah satu pihak yang terugikan.

      Gig Economy: Blessing or a Curse?

      Kita sudah tahu keuntungan dan tantangan dari konsep gig economy. Ia menawarkan fleksibilitas dan kebebasan yang dibutuhkan oleh banyak orang yang tidak ingin terikat. Tapi kita juga harus punya concern soal job security dan job stability. Keterampilan tentang hal itu harus ditanamkan agar para pekerja gig economy dapat merencanakan hari tuanya dengan baik.

      Gig economy menawarkan akselerasi pesat dalam penyediaan lapangan pekerjaan tanpa mengenal status pendidikan. Tapi di sisi lain kita juga perlu lebih aware jangan sampai para penyedia platfom meng-eksploitasi para mitranya karena posisi mereka yang lebih lemah.

      Gig economy juga perlu dapat perhatian lebih besar dengan segera oleh pemerintah untuk melindungi para pekerja tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi dan para pelaku bisnis yang bergerak di bidang ini.

      Kita para startup perlu juga bijak saat kita memakai bisnis model yang bersentuhan dengan para pekerja gig economy. Karena kepuasan para mitra pekerja juga akan menjadi daya dorong besar bagi kemajuan startup kita.

      Dengan hal ini maka kita akan dapat mengoptimalkan potensi gig economy sambil meminimalisir resiko masalah yang dapat timbul ke depannya.

      Leave a Reply