Sepekan sudah sejak gempa besar mengguncang Yogyakarta. Gempa yang terjadi pada tahun 2016 itu begitu dahsyat, dengan magnitudo 6,3 SR yang mengguncang selama hampir satu menit. Akibatnya, sekitar 150 ribu rumah hancur total dan lebih dari 5.700 orang meninggal dunia. Kabupaten yang paling terdampak adalah Bantul dan Klaten.
Kini, di desa Sulang, salah satu daerah yang juga terkena dampak parah, Aslan dan teman-teman dari Rohis fakultasnya ikut menjadi relawan. Bangunan runtuh, jalanan retak, dan tenda-tenda pengungsian berjejer di lapangan desa. Aslan berjalan perlahan melewati sisa-sisa rumah yang kini hanya berupa puing.
Di salah satu sudut desa, ia melihat seorang pemuda duduk di atas batu besar. Tatapannya kosong, menembus reruntuhan rumah yang kini tak berbentuk. Bajunya lusuh, tubuhnya tampak kurus. Usianya mungkin sekitar 17 tahun, hanya terpaut beberapa tahun dari Aslan.
Aslan ragu sejenak, tapi akhirnya ia mendekat. Ia mengeluarkan jagung rebus dari kantong plastik yang tadi ia ambil dari dapur tenda pengungsian, niatnya untuk teman-teman relawan lain. Namun melihat pemuda ini, Aslan memutuskan memberikannya.
“Kamu mau jagung? Anget nih, baru direbus. Lumayan buat isi perut,” tawar Aslan sambil duduk di sebelahnya.
Pemuda itu menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. Ia mengambil jagung rebus itu, namun tak langsung dimakan. Jemarinya hanya memegangnya tanpa ekspresi.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Hanya suara angin dan bunyi terpal tenda yang berkibar di kejauhan.
Aslan menghembuskan napas. “Aku Aslan, dari kampus di Jogja. Datang ke sini buat bantu-bantu. Kamu sendiri?”
Pemuda itu menatap reruntuhan di depannya. “Hadi,” jawabnya singkat.
“Kamu tinggal di sini?”
Hadi mengangguk. “Dulu.” Suaranya pelan, hampir berbisik.
Aslan diam, memberi ruang. Ia tahu ada yang lebih besar dari sekadar jawaban singkat itu.
Beberapa saat kemudian, Hadi akhirnya berbicara. “Rumahku ada di situ.” Ia mengarahkan dagunya ke arah puing-puing yang berserakan. “Aku nggak di rumah waktu gempa. Lagi jalan ke rumah teman habis subuhan. Mau minjem buku buat belajar seleksi PTN. Pas di jalan, gempa datang…” Ia menelan ludah, seolah berat melanjutkan. “Aku lari ke rumah. Tapi pas sampai, rumahnya sudah runtuh.”
Aslan menahan napas. “Orang tua kamu…?”
Hadi menunduk. “Ayah, ibu, sama adikku… semuanya ada di dalam. Nggak ada yang selamat. Aku coba gali puing-puing, berharap mereka masih hidup, tapi…” Ia menggeleng, matanya menerawang. “Aku yang selamat. Padahal aku yang meninggalkan rumah pagi itu.”
Keheningan panjang menyusul. Hanya suara angin yang terdengar.
Lalu, dengan suara parau, Hadi bertanya. “Kenapa harus aku yang kena kayak gini? Aku sudah shalat, sudah ngaji. Aku nggak pernah melawan orang tua. Aku nggak pernah melakukan dosa besar. Tapi kenapa Allah tetap kasih musibah ini ke aku?”
Aslan terdiam. Dadanya ikut sesak membayangkan apa yang dirasakan Hadi. Kehilangan seluruh keluarga dalam sekejap.
Lama ia diam, lalu dengan hati-hati, ia berkata. “Jujur, aku juga nggak tahu jawabannya, Hadi. Kalau aku di posisi kamu, mungkin aku juga bakal nanya hal yang sama. Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?”
Hadi mengangkat wajah, menatap Aslan dengan mata penuh luka.
Aslan melanjutkan, “Tapi pernah nggak kamu coba nanya, ‘Memangnya kenapa kalau aku?’
Hadi mengernyit. “Maksud kamu?”
“Bukan buat sok kuat atau pura-pura berlagak bisa nerima nasib. Tapi kamu tahu nggak, manusia terbaik di dunia, Rasulullah ﷺ, dapat ujian yang jauh lebih berat dari kita.”
Hadi menatap Aslan tanpa berkata-kata.
“Rasulullah lahir dalam keadaan yatim. Belum sempat merasakan kasih sayang ayahnya. Terus ibunya meninggal waktu beliau masih kecil. Dibesarkan sama kakeknya, tapi nggak lama kakeknya juga meninggal. Lalu diurus sama pamannya, Abu Thalib. Pamannya ini yang selalu menjaga beliau. Tapi pas Rasulullah lagi butuh-butuhnya perlindungan buat dakwah, pamannya juga dipanggil Allah. Nggak cuma itu, istri yang paling beliau cintai, Khadijah, juga meninggal.”
Hadi tetap diam, mendengarkan.
“Kamu bisa bayangin? Rasulullah kehilangan orang tua, kakek, paman, dan istri tercintanya. Itu belum selesai. Rasulullah punya tujuh anak. Enam dari tujuh anaknya meninggal sebelum beliau wafat. Tinggal Fatimah, itu pun nggak lama setelah beliau meninggal, Fatimah juga menyusul. Beliau juga diusir dari tanah kelahirannya, dihina, disiksa, difitnah.”
Aslan menatap Hadi dalam-dalam. “Tapi apa beliau menyerah? Apa beliau meninggalkan ibadahnya? Apa beliau marah sama Allah? Nggak, Hadi. Justru ujian itu yang bikin beliau makin kuat. Makin dekat sama Allah.”
Hadi mengalihkan pandangannya ke tanah. Jemarinya mencengkeram jagung rebus yang kini dingin di tangannya.
“Aku nggak bilang ini gampang,” lanjut Aslan, suaranya lebih pelan. “Aku juga nggak bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi bisa jadi ini cara Allah buat ngajarin kamu sesuatu. Mungkin biar kamu lebih kuat. Mungkin biar kamu makin sadar kalau Allah satu-satunya tempat bergantung.”
Hadi menghembuskan napas panjang. Matanya menerawang. Lama mereka terdiam.
Akhirnya Aslan berdiri. “Aku pamit dulu, Hadi. Tapi kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada di tenda pengungsian.”
Hadi mengangguk pelan. “Makasih, Lan.”
Aslan tersenyum tipis, lalu berjalan pergi. Tapi dalam hati, kata-kata Hadi tadi masih bergema.
Kenapa aku?
Dan ia bertanya pada dirinya sendiri. Kalau aku yang ada di posisi Hadi, apakah aku bisa sekuat ini? Apakah aku bakal tetap yakin sama takdir Allah, atau malah mempertanyakan segalanya?
Ia menatap langit senja yang mulai temaram. Dadanya terasa berat, tapi juga penuh rasa syukur. Syukur atas nikmat yang masih ia miliki. Syukur atas pelajaran yang Allah berikan hari ini.
Ia berdoa dalam hati. Ya Allah, mampukan aku tetap dekat dengan-Mu, di saat aku lapang maupun saat aku diuji.