Site icon Catatan Andreas Senjaya

Tentang Kerja Keras dan Rezeki

Sebagian kita mungkin sering bertanya, kok kita sudah siang malam banting tulang kerja keras bagai quda, tapi insentif materi yang didapat gak sebesar sebahagian orang lainnya yang kalau dilihat di sisi usaha yang dikeluarkan tidak sekeras kita. Serasa dunia gak adil begitu ceunah.

Memang selalu ada rasionalisasi dari kaca mata logika tuk menjustifikasinya. Dari faktor apa yang dikerjakan, posisinya, strateginya, hingga priviledge apa yang dimiliki seseorang semua bisa jadi rasionalisasi. Cuma kalau dasar perbandingan yang kita pakai selalu tentang kolerasi antara kerasnya kerja dan hasil yang didapat, mungkin mumetnya kita takkan berkesudahan.

Dalam Islam, bekerja itu bukanlah satu-satunya sebab kita dapat rezeki dalam bentuk materi.

Pertama rezeki itu bukan hanya sekedar materi, bukan besaran yang tertera di slip gaji aja, ataupun jumlah nominal angka yang masuk ke rekening kita tiap waktunya. Ia bisa berbentuk nikmat sehat, keluarga yang sejuk, anak yang shalih, lucu dan penurut. Semuanya adalah rezeki.

Kedua, rezeki kita masing-masing sudah ditetapkan Allah kok, mau bekerja keras mati-matian ataupun bekerja ringan sekali, kalau sudah jalannya rezeki tersebut bagian kita, maka akan kita dapatkan, tak tertukar, tak terkurangi.

Kalo gitu kita ga usah capek-capek kerja dong kalau jatah rezeki memang sudah ditetapkan Allah? Nah inilah banyak salah kaprah tentang esensi bekerja dalam masyarakat kita.

Bekerja itu tujuan utamanya bukan tuk dapat nominal materi, tujuan bekerja itu adalah untuk ibadah. Allah mengganjar ikhtiar hamba-Nya dalam bekerja mencari nafkah bukan dari besarnya upah, tapi dari besarnya pahala dan ampunan Allah.

Dan yang namanya ibadah, butuh persembahan terbaik. Jika kerja adalah ibadah, maka ihsan, profesional, dan itqan adalah persembahan terbaik penyempurna ibadahnya.

Jadi, seorang muslim bekerja keras giat banting tulang, selayaknya tuk persembahkan ikhtiar ibadah terbaik untuk Allah. Bukan semata-mata untuk bonus angka gaji atau keuntungan penjualan.

Rugi klo tiap hari 8 jam sehari kita banting tulang tapi niatnya hanya soal penghasilan yang tertera dalam rupiah angka gaji. Pertama kita bisa keki dan sakit hati ngeliat orang yang kerjanya jauh lebih santai tapi melenggang dengan rupiah besar, kedua ganjaran atas niat kerja tuk ibadah itu jauh lebih tinggi dari ganjaran rupiah.

Plus bonusnya lagi, jaga niat agar kerja selalu dalam bingkai niat ibadah juga bisa jadi pagar luar biasa untuk jagain kita dari hal-hal yang gak diridhai Allah. Masa kalau dah niat ibadah kita rela mengotorinya dengan perbuatan maksiat.

Oleh karenanya, kita sepertinya harus sering-sering berhenti sejenak, lalu meluruskan kembali orientasi kita ketika bekerja. Kita tuh bekerja berarti sedang beribadah, untuk Allah. Kalau nyenengin bos, naik pangkat, naik gaji, dan efek-efek kausalitas manusiawi lainnya adalah akibat, yang adalah kuasa Allah tuk menetapkannya.

Allah sudah sediakan momen shalat wajib 5 waktu tiap hari bisa jadi pit stop kita tuk re-orientasi dan re-kalibrasi niatan ini. Tiap habis shalat kita luruskan lagi niat kerjanya, kita berdoa agar lelah jadi pahala dan penggugur dosa, kita tata lagi mana yang pokok, mana yang bukan, kita serahkan lagi kepada-Nya.

Bagian kita adalah memastikan niat kita lurus, bagian Allah-lah yang telah menetapkan seberapa banyak kadar rezeki kita. Tapi dimana-mana kaidah rezeki itu sama, rezeki dan karunia nikmat Allah untuk kita itu cukup, ga kurang sama sekali. Gaya hidup dan kesulitan kita tuk mensyukurinyalah biasanya yang bikin selalu terasa kurang.

Exit mobile version