Site icon Catatan Andreas Senjaya

Segelas Susu dan Makna Kepemimpinan

Rico duduk termenung di depan layar laptopnya, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Notifikasi di ponselnya baru saja berbunyi—pesan dari salah satu karyawannya. Pesan itu sederhana, tapi menghantamnya dalam-dalam.

“Mas Rico, maaf mengganggu. Saya mau tanya, gaji bulan ini bisa turun kapan ya? Anak saya mau masuk sekolah, dan saya butuh bayar uang pangkalnya.”

Rico menarik napas panjang. Matanya menatap angka-angka di dashboard keuangan bisnisnya. Pemasukan bulan ini baru cukup untuk menutup biaya operasional dan menggaji karyawan. Sudah tiga bulan ia tidak menggaji dirinya sendiri. Bisnis yang ia rintis setahun lalu masih kejar-kejaran antara pendapatan dan pengeluaran. Ia ingin optimis, tapi kenyataan selalu lebih keras dari ekspektasi.

“Gimana, ya?” batinnya. “Gue bisa bilang apa? Minta dia nunggu? Tapi anaknya mau masuk sekolah…”

Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, lalu menatap langit-langit kamar kosnya. Di saat pikirannya berkecamuk, ia tiba-tiba teringat sebuah kisah yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim—kisah Abu Hurairah dan segelas susu. Kisah ini bukan sekadar cerita biasa, tetapi sebuah peristiwa nyata yang menggambarkan keberkahan dan keteladanan Rasulullah SAW sebagai pemimpin biarpun berada dalam kondisi yang penuh keterbatasan.


Abu Hurairah, sahabat Rasulullah SAW, adalah pemimpin Ahlus Suffah—golongan muslim yang hidup dalam kekurangan dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu di Masjid Nabawi. Mereka tidak punya rumah, tidur di masjid, dan sering kelaparan. Abu Hurairah sendiri sering mengikat batu di perutnya untuk menahan lapar.

Suatu hari, ia sangat lapar hingga ia duduk lemah di salah satu pilar masjid. Saat Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA melewatinya, ia berharap diajak makan, tapi tidak terjadi. Hingga akhirnya Rasulullah SAW datang, tersenyum kepadanya, dan langsung tahu kondisi Abu Hurairah. Rasulullah SAW lalu mengajaknya ke rumah.

Di sana, ada segelas susu. Rasulullah SAW menanyakan asalnya, dan keluarganya menjawab bahwa susu itu hadiah dari seseorang. Tapi alih-alih langsung meminumnya, Rasulullah SAW justru meminta Abu Hurairah untuk memanggil seluruh Ahlus Suffah.

Dalam hati, Abu Hurairah sempat merasa ragu. “Bagaimana mungkin segelas susu ini cukup untuk orang sebanyak itu? Aku yang paling lapar, tetapi Rasulullah SAW meminta agar mereka yang lebih dahulu mendapatkannya.” Namun, tanpa membantah, ia tetap menaati perintah Rasulullah SAW.

Para Ahlus Suffah datang dengan perut kosong dan wajah yang menunjukkan kelelahan. Mereka memahami bahwa makanan di rumah Rasulullah SAW tentu sangat terbatas, tetapi mereka tetap datang dengan penuh harapan.

Rasulullah SAW kemudian mengambil gelas susu itu dan menyerahkannya kepada Abu Hurairah seraya berkata, “Berikanlah kepada mereka satu per satu.” Abu Hurairah pun mulai membagikan susu tersebut, dimulai dari orang yang pertama datang.

Ajaibnya, setiap orang yang minum merasa cukup dan gelas itu tetap berisi. Abu Hurairah terus membagikan susu hingga seluruh Ahlus Suffah meminumnya. Mereka semua merasa kenyang, padahal sebelumnya perut mereka kosong seharian.

Setelah semua sahabat itu puas, Rasulullah SAW tersenyum dan berkata kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hirr, sekarang giliranmu.” Dengan penuh rasa takjub, Abu Hurairah pun meminum susu itu hingga perutnya penuh. Barulah setelah itu, Rasulullah SAW mengambil gelas dan meminum sisanya.

Abu Hurairah tersadar, Rasulullah SAW benar-benar telah mengajarkan kepemimpinan sejati. Dalam keterbatasan, beliau tetap mendahulukan orang lain sebelum dirinya sendiri. Ia memahami bahwa keberkahan datang bukan dari banyaknya jumlah, tetapi dari keberpihakan Allah terhadap mereka yang berbuat kebaikan dengan penuh keikhlasan.


Rico kembali ke dunia nyata. Ia tersenyum kecil. “Jauh banget bedanya sama Rasulullah. Gue masih banyak ngeluh soal bisnis, soal nggak bisa gaji diri sendiri, padahal Rasulullah dulu hidup lebih terbatas, tapi tetap mikirin orang lain dulu.”

Ia menatap kembali pesan dari karyawannya. Lalu, tanpa ragu, ia mengetik balasan:

“InsyaAllah gaji turun tepat waktu. Semoga anaknya lancar masuk sekolah ya, Mas. Kalau ada kebutuhan lain, kabari aja.”

Setelah mengirim pesan itu, ia menatap laptopnya dengan tekad baru. “Gue harus lebih serius lagi. Bisnis ini nggak cuma tentang gue, tapi tentang semua orang yang ikut di dalamnya. Makin maju bisnis ini, makin banyak pintu rezeki yang Allah izinkan terbuka.”

Ia mengepalkan tangannya. Ini bukan saatnya menyerah. Justru ini saatnya bangkit lebih kuat.

Exit mobile version