Pagi itu seperti biasa Dara dan keluarganya ada sesi dzikir dan nasehat pagi setelah shalat subuh berjamaah di mesjid. Tapi hari ini Dara tidak ikut Abahnya ke mesjid. Ia shalat subuh di kamarnya lalu setelah itu rebahan di kabar Ibunya.
Kesempatan bagus buat tidur sejenak selagi Abah masih di mesjid pikirnya. Namun ternyata abah pulang dari mesjid lebih cepat. Imam mesjid kali itu baca surat pendek saja, biasanya tidak kurang dari 1 halaman ia baca jika di shalat subuh.
Akhirnya niat hati ingin memejamkan mata sejenak, ternyata tepukan-tepukan Abah sudah lebih dulu mendarat di pipinya.
“Dara, Dara, ayo bangun, kita mau sesi subuh semangat” panggil Abahnya sambil menepuk-nepuk pipinya.
Tidak bergeming setelah dipanggil dan ditepuk di sekujur muka dan tangan, akhirnya Abah tarik perlahan kaki Dara hingga pinggir kasur.
Dara terkekeh sambil menyeringai. Ternyata ia belum tidur, masih fase memejamkan mata. Dengan tertatih ia ikut Abahnya ke ruang keluarga untuk subuh semangat.
Rumah Dara tidak besar. Ruang keluarganya juga sekaligus ruang tamu, ruang makan, ruang bermain dan ruang belajar. Tapi mayoritas barang di ruangan itu adalah buku. Tidak ada TV. Mencerminkan budaya membaca yang ingin dibentuk di keluarganya.
Hari ini giliran Ibu memberikan nasehat pagi selepas dzikir pagi didawamkan.
“Hari ini Ibu ingin cerita waktu dulu Ibu masih SMA.” Ibu memulai sesi nasehat paginya dengan syahdu.
“Dulu Ibu adalah satu-satunya dari SMP Ibu yang masuk SMA tempat Ibu belajar.” Lanjut Ibu. Ibunya Dara adalah lulusan Universitas Indonesia yang sebelumnya bersekolah di SMA 28, salah satu sekolah negeri unggulan di ibu kota. Sebelum masuk SMA 28 Ibunya sekolah di SMPIT Al Kahfi yang cukup dikenal dengan pendidikan Islamnya.
“Waktu itu di hari-hari awal sekolah karena belum dapat seragam, para murid diminta untuk memakai seragam SMP nya masing-masing. Karena Ibu di SMP seragamnya gamis, maka Ibu pakai gamis ke sekolah. Ibu jadi satu-satunya siswa di angkatan baru yang pakai gamis hitam panjang di sekolah. Dari jilbab hingga bawahan semua hitam. Sangat mencolok dibanding siswa lain yang kebanyakan memakai baju putih biru.” Ibu menceritakan sambil menerawang sedikit seraya mengenang masa remajanya.
“Tau ga Dara bagaimana perasaan itu waktu itu?” Tanya Ibunya ke putri kecilnya.
“Hmm ga tau Ibu.” Jawab Dara.
“Ibu malu sekali. Ibu sangat pendiam waktu itu. Hampir setiap saat selalu menunduk gak berani melihat atau dilihat orang.” Ibunya lanjut cerita sambil senyum-senyum.
“Apalagi waktu itu ada insiden Ibu salah masuk kelas. Jadi harusnya Ibu masuk kelas X-1 tapi malah salah ditempatkan oleh guru ke X-6, akhirnya Ibu harus pindah kelas di hari kedua dan berkenalan lagi dari awal. Wah malunya waktunya.” Gelak tawa muncul di ruang keluarga membuat Dara yang tadinya masih sedikit mengantuk dari lebih segar ekspresi mukanya.
“Ibu ingat sekali sangat pendiam. Hingga di hari kedua Ibu masuk ke kelas yang seharusnya, ada seorang anak perempuan periang yang dengan periangnya mengajak Ibu untuk duduk di dekatnya. Sini Sini duduk di sini katanya. Mungkin dulu ia merasa kasihan ya melihat Ibu sangat pendiam dan malu berkenalan dengan orang lain.” Ibunya menceritakan dengan ekspresif.
“Tau ga Dara, anak perempuan itu bukan hanya periang, parasnya juga cantik, suka main basket, dan mantan ketua OSIS di SMPnya. Banyak laki-laki yang naksir, cuma karena kalau bicara ia suka ceplas ceplos jadinyanya laki-laki pada sungkan juga kali ya untuk dekat.”
“Siapa namanya Ibu temen Ibu itu? Dara bertanya.
“Namanya Sapphire. Jadi semua temen-temen deket Ibu dulu namanya entah kenapa adalah nama batu mulia. Selain Sapphire ada tante Ruri, umminya Ayana. Ruri itu batu mulia yang terkenal di Jepang. Lalu ada tante Permata, tante Delima, dan tante Crystal. Dan mereka semua punya kesamaan, orangnya ramai dan ceria sekali.” Ibu menceritakan masih dengan antusiasme tinggi.
“Nah singkat cerita, karena banyak bergaul dengan tante Sapphire dan teman-teman ibu lainnya, akhirnya Ibu mulai berani bergaul. Ibu mulai makin ceria. Hingga kami masuk Forum Remaja Islam SMA waktu itu bersama. Bahkan di tahun selanjutnya Ibu ditunjuk menjadi ketua keputrian di Forum Remaja Islam itu” Lanjut Ibunya.
“Wah seru banget Ibu bisa punya temen deket yang bareng-bareng terus.” Timpal Dara.
“Iya, sampai sekarang kami masih dekat. Bahkan tante Sapphire yang dulunya belum berhijab, sekarang sudah jadi ustadzah yang cukup dikenal di Bandung lho Dara. Itu lho yang anaknya pernah main bareng dengan Dara waktu masih umur 5 tahun.”
“wah iya Dara ingat, kapan-kapan kita kalo ke Bandung berkunjung lagi ya Ibu ke tante Sapphire.”
“Nah, yang ingin Ibu sampaikan dari cerita ini adalah, manusia itu bisa berubah, dan ke mana kita berubah, besar sekali dipengaruhi dengan siapa kita bergaul. Nanti ketika Dara beranjak remaja akan semakin sedikit peran Abah dan Ibu dalam membersamai Dara. Dara perlu memilih lingkungan bergaul yang baik supaya Dara bisa ikut baik juga. Pilih yang dekat dengan Quran, yang mengingatkan dan selalu semangat dengan kebaikan, pilih yang bisa membuat Dara jadi makin baik dari hari ke hari. Kita bisa mengenal dan berteman dengan siapapun, tapi untuk menjadikannya sahabat pilihlah yang kita bisa membaik bersama mereka.” Ibunya menyampaikan nasehatnya secara perlahan agar Dara bisa menangkap dengan jelas.
“Iya Ibu, Dara kan sekarang dekat dengan Nurai, Faira, dan Zahra. Mereka baik lho. Kita nanti akan wisuda Quran bareng hafalan juz 30 akhir bulan ini.” Jawab Dara menyambung nasehat Ibu.
“Alhamdulillah, kalau Dara sudah dapat lingkungan yang baik Abah dan Ibu akan senang sekali.” Ibu mengamini sambil mengusap usap kepala putrinya.
“Semoga Allah selalu menjaga Dara agar dipertemukan dan dibersamai dengan teman-teman baik yang membawa Dara bisa menjadi lebih baik.” Abah menambahkan dengan doa.
“aamiin.” Mereka bertiga mengamini bersamaan.