Suasana di ruang tamu rumah Dara pagi itu terasa ramai. Kotak-kotak besar berisi sembako, baju, dan hadiah lebaran tertata rapi di lantai. Dara duduk di dekat Abahnya yang tengah sibuk memastikan semua barang sudah lengkap. Matanya berbinar-binar melihat banyaknya barang yang disiapkan.
“Abah, ini buat siapa? Banyak banget!” tanya Dara dengan penasaran.
Abah tersenyum, “Ini buat Bi Ijah dan keluarganya. Beliau sudah lama bekerja di rumah kita, membantu Ummi, dan ikut merawat kamu sama adikmu sejak kecil.”
Dara mengangguk pelan. Ia memang tahu Bi Ijah sudah bekerja di rumah mereka sejak lama, tapi ia tetap heran.
“Tapi Abah, kenapa harus sebanyak ini? Bahkan ada baju baru juga. Biasanya cukup uang THR aja, kan?”
Abah berhenti sejenak, lalu menatap Dara dengan lembut. “Dara, ini bukan cuma soal memberi. Ini tentang bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang membantu kita. Rasulullah mengajarkan kita untuk memperlakukan mereka dengan baik, bahkan seperti saudara sendiri. Abah ceritain sesuatu, ya?”
Dara mengangguk antusias. Ia suka mendengar cerita dari Abah.
“Dulu, ada seorang sahabat Rasulullah bernama Abu Dzar Al-Ghifari. Suatu hari, seorang temannya heran melihat Abu Dzar dan budaknya mengenakan pakaian yang sama bagusnya dan menunggangi kuda yang sama baiknya. Itu tidak biasa pada zaman itu. Lalu, temannya bertanya kenapa Abu Dzar melakukan itu.”
“Terus, kenapa, Bah?” Dara menyela penasaran.
“Karena Abu Dzar pernah ditegur langsung oleh Rasulullah,” lanjut Abah. “Dulu, Abu Dzar pernah meledek Bilal dengan kata-kata yang menyakitkan. Dia bilang, ‘Wahai anak ibu yang berkulit hitam.’ Rasulullah langsung memanggilnya dan berkata, ‘Abu Dzar, apakah kamu mengejek ibunya? Sungguh masih ada sifat jahiliyah dalam dirimu!'”
Dara terkejut. “Wah, Rasulullah sampai marah? Berarti itu serius banget, ya?”
Abah mengangguk. “Iya. Rasulullah lalu mengajarkan sesuatu yang penting: ‘Mereka yang membantumu adalah saudaramu’ Ini adalah penekanan dari Rasulullah bahwa orang yang bekerja membantu kita bukan sekadar pekerja, tapi saudara kita juga.
Rasulullah kemudian bersabda lagi, ‘Allah telah menempatkan mereka di bawah tanggung jawabmu. Maka, siapa pun yang memiliki saudaranya dalam tanggung jawabnya, hendaklah ia memberi makan dari makanan yang ia makan, memberi pakaian seperti yang ia pakai, dan jangan membebani mereka dengan pekerjaan yang terlalu berat. Jika membebani mereka dengan sesuatu yang di luar kemampuan mereka, maka hendaklah ia membantu mereka.’ Hadits ini juga diabadikan dalam Shahih Al-Bukhari.
Sejak saat itu, Abu Dzar benar-benar mengubah cara pandangnya. Ia tidak lagi melihat budaknya sebagai seseorang yang lebih rendah darinya. Ia mulai memperlakukan mereka dengan penuh hormat dan kasih sayang, membagikan makanan yang sama ia makan, mengenakan pakaian yang sama, dan bahkan membantu pekerjaan mereka jika terasa terlalu berat. Sikapnya menjadi teladan bagi banyak orang di sekitarnya, menunjukkan bahwa ajaran Rasulullah bukan sekadar teori, tapi harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.”
Dara terdiam, merenungkan kata-kata Abah. “Berarti kita harus baik banget sama orang yang kerja bantu kita, ya?”
“Betul sekali,” kata Abah sambil tersenyum. “Karena mereka juga punya hati, punya rasa lelah, dan punya keluarga yang mereka perjuangkan, sama seperti kita.”
Dara menatap paket-paket yang masih tertata rapi. Hatinya hangat mendengar kisah itu. Ia berpikir sejenak, lalu menoleh ke Abah.
“Bah, boleh nggak kalau Dara pakai sebagian uang tabungan Dara buat beliin hadiah lebaran buat Bi Ijah juga? Biar Bi Ijah senang.”
Mata Abah berbinar mendengar niat baik putrinya. Ia mengangguk penuh bangga. “Tentu saja boleh, Nak. Itu perbuatan yang sangat baik.”
Dara tersenyum lebar, lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil tabungannya. Dalam hatinya, ia ingin membuat Bi Ijah bahagia, seperti yang diajarkan Rasulullah.