Site icon Catatan Andreas Senjaya

Mencegah dan Mengatasi Konflik Co-Founder

Siapa sangka dua orang atau lebih orang yang punya ide dan menjalankan bisnis yang sama sedari awal bisa berujung konflik bahkan hingga saling tuntut di pengadilan? Tapi itulah kenyataan yang terjadi dalam membangun sebuah startup, konflik antar para co-founder sangat mungkin terjadi. Bukan hanya bisa berdampak pada penurunan moral perusahaan, tapi eksistensi atau keberlanjutan perusahaan bahkan bisa terancam.

Kita mungkin pernah mendengar konflik yang terjadi antar co-founder Facebook Mark Zuckerberg dengan Eduardo Saverin. Mereka berdua bersama Dustin Moskovitz dan Chris Hughes bersama sama yang membangun Facebook tahun 2004.

Konflik bermula saat Zuckerberg dan Saverin memang sudah banyak beda pendapat atas arah pengembangan Facebook dan ketidaksetaraan beban kerja/kontribusi antara mereka berdua. Kemudian konflik terpapar ketika Facebook melakukan fundraising ke VC dan serangkaian aksi korporasi yang membuat saham Saverin terdelusi signifikan.

Di awal Facebook berdiri Saverin memiliki saham Facebook 34%. Lalu berkurang ke 24% saat Zuckerberg dan investor-investor Facebook membuat badan hukum Facebook baru yang mengakuisisi entitas Facebook yang lama. Lalu di entitas baru tersebut Zeuckerberg menerbitkan saham baru dan dengan strategi tertentu membuat saham Saverin menjadi di bawah 10%. Dan akhirnya Saverin didepak dari perusahaan di tahun 2005.

Serangkaian peristiwa tersebut sudah cukup membuat Saverin untuk melayangkan gugatan hukum kepada Zuckerberg. Singkat cerita konflik itu berakhir dengan kesepakatan di luar hukum dengan porsi saham Saverin di angka 5% dan title cofounder yang tetap melekat padanya biarpun ia tidak punya jabatan struktural di Facebook. Kini Saverin menjadi entrepreneur dan investor yang invest di beberapa startup, salah satunya Grab.

Konflik antar cofounder dapat muncul karena berbagai pemicu, misalnya perbedaan visi, motif/tujuan pribadi yang saling bersinggungan, kontribusi yang tidak merata, masalah finansial, konflik personal, hingga perebutan otoritas maupun kepemilikan. Jika penyebab konflik ini tidak diatasi dengan segera menggunakan cara yang baik, maka akan menyebabkan isu yang lebih besar dan berdampak kepada bisnis.

Konflik yang dibiarkan dan tidak segera diselesaikan atau minimal dibicarakan seperti api dalam sekam. Di permukaan seolah baik-baik saja, tapi di belakangnya para co-founder mulai menegasikan keputusan satu sama lain yang menyebabkan kepercayaan tergerus dan komunikasi jadi tidak lancar.

Co-founder adalah orang yang keberadaannya sangat intensif bersama kita sepanjang perjalanan membangun startup. Bahkan ekstremnya, waktu bersama co-founder bisa lebih banyak dibanding waktu kita bersama pasangan atau orang tua. Kalau hari-hari bersama co-founder isinya saling tikung dan saling tidak percaya tentunya akan sangat melelahkan dan men-demotivasi kita mengeluarkan kerja yang terbaik.

Untuk menghindari konflik berikut beberapa cara yang bisa kamu pakai:

Bagi dan Tetapkan dengan Jelas Role dan Tanggung Jawab antar Para Co-Founder

Di awal perjalanan penting untuk mendefinisikan role dan tanggung jawab masing-masing. Co-founder harus punya pemahaman yang utuh tentang role dan tanggung jawabnya untuk mencegah saling lempar atau saling menyalahkan. Ini juga bermanfaat untuk menjaga beban di antara para co-founder relatif adil atau minimal transparan satu sama lain.

Kami pernah menemui ada startup yang salah satu co-foundernya komplain ia merasa sendirian kerja banting tulang sementara co-founder yang lainnya dapat tanggung jawab sangat jomplang karena masih full time di tempat lain. Kondisi ini sah-sah saja terjadi asalkan mereka secara transparan dan jelas mendiskusikan pembagian kerja dan tanggung jawab masing-masing dengan terbuka. Yang jadi masalah adalah tiap dari mereka merasa orang lain harus lebih proaktif, perhatian, dan sensitif dalam menyamakan beban kerja masing-masing. Tapi itu tidak akan terjadi kalau dari awal espektasi tentang beban kerja tidak pernah didiskusikan secara terbuka.

Ada lagi case seorang CEO yang tidak bisa memutuskan taktik operasional perusahaan karena ia merasa tidak punya wewenang dan harus mendiskusikan semua hal dengan para co-founder lainnya yang jumlahnya tidak sedikit. Ini bukan hal yang salah, tapi akan jadi tidak efisien kalau seorang CEO tidak punya legitimasi untuk memutuskan. Hal ini terjadi karena role CEO ini tidak didefenisikan sedari awal tentang apa wewenang yang ia miliki. Konflik terjadi saat masing-masing pihak berasumsi sendiri tentang wewenangnya sehingga memungkinkan terjadinya gesekan.

Untuk memudahkan pemetaan role dan tanggung jawab kita dapat mempergunakan framewok Function Accountability Chart (FACe) yang biasa digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam groupnya Rockefeller. Framewok ini dapat membantu menyederhanakan pembagian accountability untuk tiap fungsi yang ada dalam perusahaan kita. Memastikan tiap fungsi ada yang bertanggung jawab atasnya. Kalau ada yang tidak berjalan baik di fungsi tersebut maka kita tahu siapa yang perlu ditunjuk hidungnya.

Budayakan Komunikasi Terbuka

Ini biasa jadi momok untuk kita orang Indonesia yang sungkan-an dan sangat menjaga perasaan. Lebih utama menjaga hubungan dibandingkan menyampaikan isi hati secara terbuka yang bisa memicu konflik. Masalahnya saat ada sesuatu yang kita ga nyaman terjadi di antara para co-founder dan kita tidak berusaha melakukan klarifikasi, mengingatkan, atau mendiskusikan solusinya itu sama saja dengan menabung sampah yang makin lama makin menumpuk dan bisa terurai keluar sewaktu-waktu.

Milikilah pandangan bahwa menyampaikan sesuatu secara terbuka, tentu dengan santun, adalah bagian dari cara kita memperhatikan orang tersebut agar yang bersangkutan bertumbuh lebih baik. Orang ga akan tau titik lemah atau blind spot nya kecuali ada yang memberi tahu. Itulah pentingnya seorang atlet punya seorang coach seahli apapun ia dalam bidangnya.

Yang membuat kompleks adalah kita biasanya melampiaskan isi pikiran kusut dengan menceritakannya kepada orang lain di belakang orang yang bersangkutan. Misalnya kita ga suka dengan performa co-founder kita yang selalu telat dalam menyelesaikan pekerjaan, tapi bukannya membicakan hal tersebut dengannya langsung kita malah lebih nyaman mendiskusikannya dengan orang lain. Bisa membuat hati lebih tenang sih karena kita punya tempat cerita, tapi itu tidak menyelesaikan masalah.

Ada satu culture yang dimiliki oleh Netflix tentang komunikasi efektif: “You only say things about fellow employees you will say to their face.” Aturan itu dibuat untuk memicu sesama karyawan Netflik agar lebih terbuka dalam menyampaikan pikiran secara langsung ke yang bersangkutan.

Komunikasi lebih intens dan terbuka dengan sesama co-founder bisa jadi sarana latihan yang bagus ketika kita ingin membangun budaya komunikasi terbuka di karyawan kita. Kalau ke sesama co-founder yang saling dekat dan terkoneksi saja sulit untuk terbuka maka jangan harap budaya komunikasi terbuka akan terjadi di tim kita.

Jadi saat kita melihat ada kejadian-kejadian yang perlu kita klarifikasi, tanya, ingatkan, atau tegur maka segeralah atur waktu untuk mengkomunikasikannya dengan co-founder kita. Semakin ditunda kita akan terlupa dengan kesibukan dan akhirnya tak terselesaikan. Komunikasikan sedini mungkin juga dapat mencegah masalah kecil menumpuk dan terakumulasi jadi masalah besar. Dan ternyata mengkomunikasikan sesuatu yang tidak nyaman secara terbuka itu tidak seseram yang kita bayangkan. Saat melakukannya kita akan menemukan kemudahan dan juga pembelajaran yang akan buat kita naik kelas.

Dokumentasikan Kesepakatan dan Keputusan Para Co-Founder

Hal-hal sensitif selain perlu disepakati dari awal juga perlu didokumentasikan, misalnya menggunakan notulensi rapat yang ditandatangani para pihak. Kalau dirasa ribet juga ,minimal setiap pihak yang terlibat dalam keputusan tersebut mengkonfirmasi melalui media tertulis seperti e-mail atas sebuah keputusan.

Hal sensitif yang perlu disepakati dan diputukan misalnya pembagian kepemilikan antar co-founder, mekanisme gaji atau insentif, strategi utama perusahaan, aksi korporasi seperti penambahan modal disetor, penerbitan saham baru, hingga akuisisi, atau sesederhana keputusan strategis yang akan berdampak cukup signifikan pada perusahaan.

Mendokumentasikan kesepakatan atau keputusan strategis dapat mencegah kesalahpahaman atau dispute di masa yang akan datang. Terlebih jika berkaitan dengan konsekuensi hukum.

Hal seperti ini memang tidak biasa untuk sebuah perusahaan rintisan di awal perjalanan. Membuat notulensi/Minutes of Meeting bertandatangan biasanya hanya common di korporasi besar dengan jumlah tim yang banyak. Solusinya kita dalam jalankan versi paling sederhana saja, tapi substansi mendokumentasikan kesepakatan atau keputusan tetap didapatkan. Misalnya budayakan email kepada para pihak yang terkait saat ada keputusan atau kesepakatan strategis.

Banyak konflik atas hal sensitif akhirnya jadi panjang perkaranya karena tidak ada bukti dokumentasi atas kesepakatan atau keputusan yang mereka buat di masa lampau. Dengan dokumentasi yang lebih proper tapi tetap tidak membuat startup kita jadi tambah birokratis minimal bisa mencegah masalah terjadi terutama jika ada pihak yang ingin memanfaatkan celah lemahnya dokumentasi pada perusahaan kita.

Meminta Bantuan Mediator atau Pihak Ketiga

Jika konflik sudah terjadi, salah satu common practise yang sering dilakukan oleh para pelaku startup adalah menyelesaikannya dengan bantuan pihak eksternal seperti advisor, mediator, atau pihak ketiga lainnya.

Pihak ketiga ini bisa berperan spesifik dalam menjadi mediator komunikasi antar para co-founder atau bahkan menjadi solusi dari konflik tersebut.

Misalnya kejadian Apple merekrut CEO eksternal John Sculley untuk menggantikan Steve Jobs saat terjadi ketegangan antara Steve Jobs dengan co-foundernya, Steve Wozniak, dan dengan para komisaris-komisarisnya. Twitter juga merekrut CEO eksternal Dick Costolo untuk menjadi solusi bagi isu manajemen dan leadership para co-founder Twitter yang terjadi saat itu.

Kadang kita tidak bisa menyelesaikan konflik sendiri terutama ketika masing-masing pihak sudah teraliansi pada preferensi dan kesimpulannya masing-masing. Menghadirkan pihak ketiga bisa menjadi pemecah kebuntuan.

Masih banyak cara-cara lainnya yang dapat kita gunakan untuk mencegah atau mengatasi konflik di antara para co-founder. Namun pada intinya semua bermula sejak pemilihan co-founder, kesepakatan yang kita buat dalam hal kepemilikan serta tanggung jawab, dan komunikasi terbuka saat pemicu konflik terjadi.

Di masa awal, co-founder adalah hal yang sangat signifikan. Investor menempatkannya sebagai salah satu poin paling prioritas saat memutuskan untuk invest di sebuah startup. Maka jangan sampai aspek ini yang menjadi sebab kita gagal dalam membangun dan mengembangkan startup kita.

Exit mobile version