Site icon Catatan Andreas Senjaya

Dilema Inovasi, Kanibalisasi Diri untuk Tetap Relevan

Kodak pernah menjadi salah satu perusahaan paling besar dan paling profitable di dunia. Kesuksesan mereka dimotori oleh kemampuan mereka untuk memberikan layanan terintegrasi ke konsumennya, dari pembuatan film, device kamera, hingga teknologi printing fotonya.

Namun kejayaan Kodak memudar sejak fotografi digital mulai marak dan mendisrupsi pasar, hingga akhirnya mereka bangkrut di tahun 2012.

Prototype kamera digital pertama sebenarnya ditemukan tahun 1975 oleh engineer Kodak sendiri bernama Steven Seasson. Namun Kodak tidak mampu menjadikan teknologi ini sebagai prioritas utama pengembangan bisnis mereka hingga akhirnya mereka kesulitan beradaptasi dengan teknologi fotografi digital saat sudah banyak diadopsi di pasar.

Sebuah pertanyaan usil adalah apakah kita punya cukup nyali untuk memprioritaskan pengembangan kamera digital jika kita berada di posisi CEO Kodak pada itu? Jawaban ini mudah kalau posisi yang menjawabnya ada di masa sekarang, karena kita sudah tahu apa yang terjadi dalam dunia fotografi sejak saat itu hingga kini. Namun akan jadi keputusan yang dilematis ketika kita mengandaikan diri berada di masa lampau saat itu.

Memprioritaskan pengembangan kamera digital berarti adalah membangun sebuah produk yang nanti akan menjadi pesaing produk dan bisnis utama mereka. Belum lagi ke depannya bisa jadi kamera digital akan menghabisi lini produk kamera konvensional mereka. Padahal lini produk kamera konvensional mereka sudah sangat luas, investasinya sudah sangat besar dari hulu ke hilir, pasar dan partnership yang dibangun sudah sangat matang, serta kamera konvensional pasti sudah jadi porsi terbesar pendapatan Kodak saat itu.

Inilah yang dinamakan sebagai Innovator’s dilemma, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Clayton Christensen dalam bukunya yang berjudul sama. Innovator’s Dilemma adalah situasi dimana sebuah perusahaan/institusi berada dalam pilihan sulit ketika menghadapi disrupsi teknologi di dalam industrinya. Perusahaan, terutama yang sudah settle, punya kecenderungan sulit beradaptasi dengan inovasi yang distruptif karena mereka fokus dalam mempertahankan dan mengembangkan bisnis model eksistingnya.

Kodak mengalami hal yang sama saat mereka sudah sangat besar dengan lini produk kamera konvensional sehingga kesulitan untuk beradaptasi dalam mengembangkan produk dengan teknologi terbaru, kamera digital.

Tapi ada contoh sukses perusahaan yang bisa melewati Innovator’s Dilemma ini, salah satunya adalah Apple.

Apple setelah jaman keterpurukannya di awal tahun 1990-an, kembali bisa berjaya dengan produk revolusioner mereka, iPod.

iPod diperkenalkan oleh Apple pada tahun 2001 dengan tagline mereka yang eye catching : “a 1000 songs on your pocket.” Sejak diperkenalkan, iPod langsung booming di market. Di tahun pertamanya saja sudah menyumbangkan 20% dari total sales Apple. Hingga di tahun tertinggi penjualannya iPod menyumbangkan hampir 50% dari sales Apple.

Namun paralel dengan suksesnya iPod, teknologi pemutar mp3 mulai jadi mainstream. Orang yang tadinya memutar mp3 dengan alat pemutar CD, sejak makin populernya iPod sudah terbiasa memutar mp3 mereka di handphone mereka. Maka tinggal tunggu waktu saat dimana handphone akan makin nyaman dan canggih untuk memutarkan lagu dari file mp3 pemiliknya.

Apple menyadari hal itu dan mereka meresponnya dengan men-design iPhone. Tapi dilema muncul seiring dengan pengembangan iPhone. Apple seperti sedang menciptakan produk yang akan membunuh iPod, produk yang selama ini jadi lumbung revenue Apple. Munculnya iPod bukan hanya besar pengaruhnya dari sisi keuangan Apple, tapi juga punya influence besar di culture dan brand Apple. iPod sudah berhasil memperkokoh Apple sebagai leader di dalam inovasi dan design produk teknologi. Bayangkan dilematisnya, iPod punya kontribusi di sisi finansial hingga emosional perusahaan.

Tapi mereka bisa mengalahkan kekhawatiran itu dan terus mengembangkan iPhone biarpun suatu saat iPhone akan membunuh kejayaan iPod. Dan kejadian, penjualan iPod sekarang sudah sangat kecil, saking kecilnya Apple sudah memasukkan penjualan iPod dalam kategori penjualan “other products” di laporan keuangannya.

Apple bisa lolos dari jebakan Innovator’s Dilemma karena mereka berani mengambil pilihan sulit untuk meninggalkan zona nyamannya, yaitu mengembangkan produk yang akan menghabisi produk eksisting yang pernah menyelamatkan dan membesarkan Apple selama ini.

Perkembangan teknologi dan perubahan trend pasar akan terus terjadi. Selalu akan muncul teknologi baru yang bisa jadi menjadi pembunuh/pengganti teknologi lama. Baru-baru ini beberapa media memberitakan potensi chatGPT yang bisa menggantikan search engine seperti Google ke depannya. Saya pun merasakan hal yang sama, saat ini ketika saya ingin mencari informasi yang tidak membutuhkan keterbaruan dari sisi waktu maka saya mencarinya di chatGPT alih-alih Google.

Yang jadi dilema juga bagi Google adalah apakah mereka cukup berani untuk memfokuskan resource terbaik mereka untuk pengembangan AI yang jika benar-benar terjadi akan bisa membunuh bisnis search engine mereka. Padahal revenue dari iklan Google saat ini sangat dominan. Ga tanggung-tanggung, lebih dari 80% pendapatan google datang dari ikan dan sebagian besar dari search engine mereka.

Bayangkan kalau search engine mereka makin tergusur oleh teknologi AI, maka mereka punya resiko penurunan revenue dan juga belum tentu AI akan punya strategi revenue yang sama sebagaimana mereka terapkan di search engine. Ini pasti cukup dilematis buat Google.

Kita belum bisa secara akurat menjustifikasi mana pilihan strategi yang paling baik buat Google saat ini, kita baru bisa mengetahui saat teknologi disruptif yang ada saat ini sudah mulai matang dan mature di pasar. Yang pasti kita belajar dari semua kejadian ini bahwa penting untuk terus relevan dalam tiap perkembangan jaman.

Exit mobile version