Menjadi Manusia dengan Pilihan

manusia dengan pilihan
manusia dengan pilihan

Beberapa waktu terakhir saya cukup sering berpergian ke beberapa tempat di Jakarta. Seperti kebanyakan orang, saya memilih untuk pergi ke Jakarta dengan mempergunakan commuter line, penyebabnya tentunya sudah dapat dengan mudah ditebak, untuk menghindari kemacetan dan kelelahan di jalan. Tapi ternyata tidak setiap saat berpergian dengan commuter line menjadi perjalanan yang nyaman, karena pada jam-jam padatnya, commuter bisa menjadi sebuah tempat dengan kepadatan manusia yang sangat tinggi yang seketika bisa menghilangkan mood dan menguras sisa energi yang kita bawa saat itu 😀

Saya sering kali berpikir, kok bisa sebanyak ini orang melakukan rurinitas seperti itu setiap harinya. Pergi berdesakan dan pulang berdesakan. Dan saya menemukan tidak sedikit juga dari pengguna commuter line yang setiap harinya menghabiskan total waktu 4-5 jam untuk berperjalanan pulang pergi, berpergian Sudirman-Bogor atau Sudirman-Bekasi. Bayangkan jika waktu kerjanya adalah 8 jam, maka total waktu yang harus dihabiskan untuk bekerja termasuk dengan perjalanannya adalah 12-13 jam. Praktis Ia hanya punya waktu sebentar sekali untuk keluarga atau waktu pribadinya. Lalu apa yang menyebabkan saudara-saudara kita bisa punya kekuatan untuk melalui itu semua? Tentunya ada banyak sekali jawaban dan motivasi, baik internal maupun eksternal, yang bisa kita temukan dari setiap orangnya. Namun diantara banyaknya alasan tersebut, pernahkah kita merenungkan bahwa ada diantara saudara-saudara kita yang memang menjalani hal tersebut karena tidak punya pilihan, sebagaimana layaknya kita mampu memiliki pilihan dalam hidup kita.

Pernahkah kita bayangkan jika ada banyak orang di luar sana yang menjalani aktivitas rutinnya karena mereka tidak punya pilihan, sehingga dengan sebesar apapun ketidaknyamanan dan beban berat yang harus ditanggungnya ia tetap harus melakukannya. Terkadang tidak adanya pilihan tersebut muncul untuk sebuah alasan paling sederhana, misalnya untuk bisa bertahan hidup, untuk bisa membiayai anak sekolah, untuk bisa memberi uang belanja kebutuhan sehari-hari. Memang ketika kita dihadapkan pada kondisi tidak punya pilihan, kita akan bisa meredam kadar kemakluman kita ke level terbawah. Dan itu mungkin yang terjadi kepada saudara-saudara kita yang dalam sudut pandang kita melalui kehidupan yang berat setiapharinya.

Ketiadaan pilihan merupakan kondisi yang dapat disebabkan oleh beragam hal. Ada yang tidak punya banyak pilihan karena memang keterbatasan kompetensi dan infrastruktur, ada yang memang karena kondisi di luar dirinya membuat ia tidak punya pilihan, hingga memang dirinya sendiri yang memilih untuk tidak punya pilihan. Seorang sarjana tentu normalnya punya lebih banyak pilihan dibandingkan dengan lulusan Sekolah Dasar. Sarjana bisa punya pilihan bekerja di beragam pilihan perusahaan, kembali melanjutkan kuliah, mencoba berwirausaha, atau lainnya. Sedangkan seorang lulusan Sekolah Dasar dan kapasitas yang terbatas umumnya (walau tidak semua) punya pilihan pekerjaan dan aktivitas yang jauh lebih terbatas pilihannya. Seorang yang sedari awal punya modal tabungan yang banyak tentunya dalam kondisi normal punya lebih banyak pilihan dibanding dengan yang tidak punya tabungan sama sekali. Dan mereka yang punya kapasitas dan ilmu tinggi tentunya dalam kondisi normal punya lebih banyak pilihan dari yang kurang dalam sisi kapasitas dan ilmu.

Terkadang saya juga terenyuh melihat tidak sedikit pedagang keliling di sekitar kita, mereka membawa beban berat tapi kita sudah bisa memprediksi berapa besar penghasilan maksimal yang bisa dibawa pulang dalam seharinya (asumsi jika hanya itu sumber pendapatannya dalam sehari). Pedagang keliling yang menjinjing 10-15 tandan pisang, di mana satu tandannya dijual sekitar 10 ribu, tentunya penghasilan dan keuntungan seharinya bisa kita prediksi besarnya. Bisa jadi kita beralasan bahwa itu adalah takdir mereka untuk punya pendapatan sebesar itu, namun tidakkah kita terketuk untuk bisa membantu mereka lepas dari jeratan keterbatasan seperti itu, minimal dengan memberikan alternatif pilihan yang jauh lebih baik secara ekonomi untuk mereka.

Saya bermimpi, kelak seluruh rakyat Indonesia bisa memiliki pilihan, sederhana saja, sesederhana mereka punya alternatif pilihan yang lebih manusiawi untuk hidup mereka dan keluarganya. Tidak perlu ke kota besar kan dengan semua kemacetan dan keras hidup di sana jika di lingkungan tempat tinggalnya saudara-saudara kita bisa memenuhi kebutuhan hidup, belajar, sekaligus mengaktualisasikan diri. Tidak perlu bekerja hingga lebih dari 12 jam untuk sebuah upah yang hanya cukup untuk makan dan bayar kontrakan sehari jika bekerja secukupnya sudah bisa memenuhi kebutuhan primer mereka. Bukan untuk mengurangi etos kerja atau intensitas kerja kita, tapi untuk lebih memanusiakan diri kita sendiri, karena ada banyak hak dan aktualisasi diri yang kita bisa kembangkan, termasuk waktu untuk bercengkrama dengan Allah. Minimal kita bisa memberikan alternatif pilihan dengan meratanya akses pendidikan, kesehatan, kesempatan berkarya, dan lapangan pekerjaan. Itulah PR besar kita saat ini.
Bersyukurlah kita semua yang terlahir dan bisa hidup menjadi manusia dengan pilihan karena itu salah satu tanda bahwa kita memiliki lebih banyak hal untuk mendapatkan kesempatan. Pilihan memang merupakan sebuah kata sederhana dan sangat biasa kita temukan, tapi ketika kita renungkan lebih dalam, pilihan bisa menjadi sebuah kata dengan makna yang mendalam yang bisa menjadi faktor penting tuk merubah kehidupan seseorang, keluarga, bahkan orang-orang di sekelilingnya.

3 thoughts on “Menjadi Manusia dengan Pilihan”

  1. Great musing kak!

    Mungkin pelik pedihnya mereka yang tanpa pilihan terbayar ketika pulang melihat senyum anak.

    Bersyukur sekarang bisa berkerja dgn commute berjalan kaki 15 menit menembus segarnya udara Bandung Barat. 🙂

    Reply
    • hehe betul sekali Rizky, jika ada alasan kuat setiap perjuangan keras gak akan terlalu sulit tuk ditaklukan. Barakallah Rizky untuk tempat kerja barunya

      Reply

Leave a Reply