Meniti Asa Menuju Product Market Fit

“Wahyu, jadi udah berapa persen development yawme 2.0 sekarang?” tanya saya awal pekan ini ke Wahyu, CEO Yawme.
“48% kak, insyaAllah April kita selesai”, jawabnya.

Gak kerasa 54 hari lagi kita akan menyambut bulan Ramadhan di tahun ini. Dan salah satu startup kita yang lagi giat menyiapkan diri menyambut momentum ini adalah Yawme. Rencananya temen-temen Yawme lagi merombak beberapa aspek signifikan di Yawme dan melahirkan kembali Yawme 2.0. Penasaran kan? Tapi, bukan tentang seperti apa Yawme 2.0 topik tulisan saya kali ini.

Yawme Veri Beta : Simple Ibadah Tracker untuk Muslim Community

Saya ingin cerita tentang perubahan di dalam banyak startup yang dilakukan dalam rangka menemukan Product Market Fit. Bahkan berubah adalah keharusan selagi kita belum menemukan Product Market Fit yang settle.

Product Market Fit (PMF) adalah sebuah kondisi dimana solusi yang ditawarkan startup bertemu dan tersinkronisasi baik dengan kebutuhan dari pengguna. Kondisi ini adalah dambaan di fase awal perjalanan para founder startup. Karena ketika fase ini telah ketemu, maka potensi pertumbuhan pengguna yang tinggi akan semakin besar.

Saking pentingnya kondisi PMF ini, para founder perlu melakukan segala hal yang diperlukan (tentunya yang taat hukum dan norma ya) tuk mencapainya, termasuk ganti personil, fundraising lagi, ganti segmen market, hingga mengganti produk-bahkan re-writing code-nya. Oleh karenanya, perubahan adalah keniscayaan.

Instagram sebelum ketemu PMF nya, dulu adalah sebuah aplikasi social network bernama Burbn, fitur ambil foto adalah fungsi yang opsional sebelumnya. Ternyata dalam perjalanan founder mereka menyadari banyak pengguna yang hanya pakai satu fitur yaitu filter foto. Akhirnya mereka ubahlah Burbn dan launching ulang instagram. Hasilnya? Boom, 100 ribu pengguna dalam hanya 1 pekan.

Yawme 1.0 : App untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Milennial Muslim

Ada juga startup besar saat ini yang perlu waktu cukup lama dengan beberapa tahapan proses tuk menemukan PMF nya. Contohnya Airbnb. Dulu Airbnb bernama airbedandbreakfast.com, menjajakan ruang tamu dari apartemen foundernya tuk ditaruh kasur dan juga disediakan makan pagi untuk para tamu.

Kemudian mereka pivot menargetkan para pengunjung konferensi bisnis, mereka tambahkan kesempatan networking selain menginap. Mereka pivot lagi, ganti segmen market menjadi mereka yang ga mau nginep di hotel, tapi ga mau juga di losmen, inginnya nginep di antara kedua itu. Lalu terakhir mereka pivot lagi, menghilangkan fasilitas makan pagi dan networking bisnis, hanya menyediakan tempat tuk sewa tempat menginap, apappun itu, jadilah airbnb yang kita kenal sekarang.

Pre-PMF dan Pasca PMF 😀

Dua hal itu jadi inspirasi buat kita, eksperimen perubahan tuk ketemu kondisi PMF itu bisa terjadi sebentar, bisa juga butuh proses yang cukup panjang. Tapi keduanya butuh satu hal, sang founder konkret terjun ke lapangan, merasakan gimana produk mereka digunakan dan gak bekerja, lalu kembali tuk memperbaiki produknya secara berulang hingga ketemu PMF.

Sulit membayangkan kita menemukan kondisi PMF yang dicapai dengan hanya bikin produk, launch lalu langsung berhasil. Semuanya butuh mengotori tangan kita dengen eksperimen dan eksekusi. Semuanya butuh interaksi dan komunikasi sang founder langsung kepada pengguna.

Jadi buat kita semua yang sedang berjuang menemukan PMF, jangan khawatir untuk berkotor ria melalui eksekusi, jangan sedih karena eksperimen yang tak sesuai harapan, jangan jera lewat kegagalan berulang. Karena siapa tau setelah usaha saat ini kan berujung pada bentuk produk yang benar-benar bisa menyelesaikan masalah target market kita. Selamat berjuang para pencipta karya!

Leave a Reply