Belajar Memulai dari Para Pelajar di Batam

“80% mahasiswa di STT Ibnu Sina ini sudah bekerja, dan sebagian dari mereka adalah pendatang”, ujar Mas Nanang. Kalimat dari Mas Nanang ini yang menjadi awal rasa penasaran saya soal Batam ketika berkunjung ke sana sepekan yang lalu.

Saya diundang oleh STT Ibnu Sina untuk menjadi pembicara di seminar internasional pertama mereka, membahas tentang bisnis dunia digital. STT Ibnu Sina bisa jauh-jauh mengundang saya karena ada Mas Nanang. Dulu Mas Nanang pernah menjadi Manajer Keuangan Badr, dan kini menjadi kepala prodi Teknik Industri di sana. Kalau ada yang bertanya kenapa sistem keuangan Badr, perusahaan yang masih baru dan tak ada satupun orang keuangan di dalamnya ini bisa rapih, maka Mas Nanang adalah salah satu sebab utama di baliknya 😀

Mas Nanang dan Adara
Mas Nanang dan Adara, putri pertamanya

 

Tadinya Batam hanya saya kenal dengan bayangan sebuah pulau dengan bayak pabrik dan pelabuhan, penuh asap, debu, dan polusi. Ternyata kesan pertama ketika menyusuri jalan dari bandara ke kotanya adalah tata ruang dan jalan yang rapih. Memang panas sih, tapi kesan kering dan gersang tidak menjadi faktor dominan di sana jika dibandingkan kerapihan tata fasilitas publiknya.

Jalan-jalan di Batam sangat rapih dan lebar. Kebanyakan jalan terdiri dari dua jalur terpisah, lalu jarak antara jalan dengan gedung, perumahan, ataupun pertokoan tidak kurang dari 20 meter. Skema menetap di Batam itu bukan dengan skema kepemilikan, tapi skema ijin tinggal selama 30 tahun, yang bisa diperpanjang tentunya. Semua pembangunan direncanakan, hingga sistem perairan, tata kota, juga direncanakan dengan baik. Terbayang, kalau Depok ingin lebih rapih dan tidak semrawut lagi memang harusnya kita bangun kota dari awal sepertinya 😀

Kondisi Jalan-jalan di Batam
Kondisi Jalan-jalan di Batam

 

Dengan ijin Allah, pada kesempatan kemarin saya berada satu panggung dengan pak Ricky Indrakari, Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam. Kesempatan ini saya gunakan untuk menggali rasa penasaran saya soal penduduk Batam ini.

Sebenarnya saat saya masih kecil, nama Batam sudah cukup akrab di telinga saya karena ada beberapa sepupu dan saudara saya yang setelah selesai sekolah setingkat SMA memutuskan merantau dan bekerja di Batam. Yang saya tahu, gaji di sana lebih besar dibandingkan dengan gaji di Bantul, nama kabupaten tempat ibu saya dilahirkan.

Ternyata hal tersebut diaminkan oleh Pak Ricky. Beliau bahkan menambahkan, 90% warga Batam adalah pendatang, dan 80% dari mereka masih berada dalam usia produktif. “Jika Indonesia diprediksi akan menikmati bonus demografi menjelang tahun 2030, maka Batam sudah mengalaminya saat ini”, tambah Pak Ricky.

Jadi, Batam ini ternyata memang telah lama dijadikan destinasi rantauan anak-anak daerah untuk mengadu nasib setelah Jakarta. Mereka biasanya datang bekerja di perusahaan manufaktur produsen berbagai jenis barang, yang kantor pemasarannya ada di Singapura. Itulah mengapa Batam banyak juga dijuluki sebagai halaman belakang-nya Singapura. Kantor pusat dan bos-bos besarnya ada di Singapura, sementara buruh dan operatornya ada di Batam.

Foto Bersama Para Panitia Seminar Internasional STT Ibnu SIna
Foto Bersama Para Panitia Seminar Internasional STT Ibnu SIna

 

Lalu setelah para pemuda pemudi perantau itu sudah cukup stabil secara ekonomi, agar bisa naik jenjang karir dari level operator, mereka secara paralel mengambil kuliah tingkat sarjana di kota Batam, salah satunya STT Ibnu Sina ini.

Dan sesuai dugaan, bukan hal yang mudah untuk mengajar para perantau yang memperjuangkan masa depannya di sini. Karena kuliah diadakan di malam hari, beragam tantangan muncul: kuliah yang berlangsung dalam kondisi lelah, prioritas kuliah yang kadang dinomorduakan, hingga minimnya waktu bagi para mahasiswa untuk aktualisasi diri dalam organisasi mahasiswa.

Tapi memang karena keterbatasan, kreativitas bisa muncul. Keterbatasan itu yang membuat Mas Nanang bisa memunculkan inovasi pembelajaran dalam kepemimpinannya di prodi Teknik Industri STT Ibnu Sina ini.

Mas Nanang menginisiasi dan menggunakan Google for Education untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar agar tidak terpaku pada pertemuan fisik saja. Bagi saya ini merupakan sebuah terobosan yang selain baru, tapi juga penuh keberanian melawan arus. Dan alhamdulillah ternyata dengan kerja kerasnya hal itu bisa bekerja. Hingga salah satu hasilnya para mahasiswa STT Ibnu Sina saat ini bisa mengadakan seminar yang dipadukan dengan kompetisi desain produk skala internasional.

Batam memang dari aspek ekonomi masih kalah jauh dari Singapura walaupun dua wilayah ini punya luas yang tak berbeda jauh dan jaraknya pun hanya 25 km bersisian. Tapi di sini saya belajar tentang semangat dan perjuangan menyongsong masa depan dari para pemuda pemudi yang menempuh pendidikan di sini.

Mereka berani meninggalkan kampung halaman dan bekerja di tempat baru, mereka bisa meninggalkan zona nyaman kemudian menempuh pendidikan tuk berkembang menjadi lebih maju. Dan mereka yakin usaha itu dapat mengubah kondisinya, keluarganya, kampung halamannya, dan mungkin juga negaranya.

Menjelang penerbangan kembali ke Jakarta, di bandara saya kembali bertemu salah seorang mahasiswa STT Ibnu Sina. Tapi kali ini beliau yang menyapa saya duluan karena saya kebetulan menenteng tas kain STT Ibnu Sina. Saat itu ia sedang tidak berpenampilan seperti seorang mahasiswa, tapi sedang menjalankan tugasnya sebagai janitor yang membersihkan toilet pria.

Dengan senyum sumringah, tanpa ada rasa minder dan malu sedikitpun beliau menyapa dan menceritakan beliau juga salah seorang murid Mas Nanang. Melihat itu, muncul sebuah keyakinan dalam diri saya, beberapa tahun lagi, jika kesungguhan dan konsistensinya tuk terus maju tetap terpelihara, insyaAllah ia bisa mengubah masa depannya.

Berfoto dengan Mahasiswa STT Ibnu Sina yang sedang menjalankan tugasnya di toilet bandara
Berfoto dengan Mahasiswa STT Ibnu Sina yang sedang menjalankan tugasnya di toilet bandara

 

Kadang justru dari mereka yang secara status sosial dipandang sebelah mata, kita bisa belajar. Bahwa tidak ada yang namanya terlalu besar, terlalu dewasa, terlalu kaya, terlalu terkenal, terlalu ahli, bagi seorang anak manusia tuk memulai dan belajar. Yang menghalangi kita hanyalah ketidakmampuan mengalah rasa malu dan melangkah keluar meninggalkan zona nyaman.

Mereka yang tak ambil pusing dengan label pada diri merekalah, yang bisa dengan jujur menyadari masih jauhnya perjalanan mereka. Mereka yang tak takut dipandang remeh dan cibirlah, yang bisa dengan ringan mengambil langkah pertama mengarungi perjalanan tersebut.

Terima kasih teman-teman pelajar di Batam, saya kembali tersadar, sejauh dan sebesar apapun kita sekarang, tak ada sesuatu yang terlalu remeh dan memalukan tuk kita ambil dan coba, selagi itu adalah syarat terciptanya langkah-langkah perbaikan dan pembelajaran.

Dunia tidak cukup kuat mengingat langkah-langkah awal kita yang kecil dan penuh salah. Jadi maju sajalah, pandangan ragu, merendahkan, dan menertawakan kan sirna seiring dengan pembuktian kita.

Leave a Reply